Jumat, 22 Oktober 2021

Seorang Mukmin yang Bertawakal kepada Alloh, Apabila Manusia Menipunya, Maka Alloh akan Menipu untuknya dan Menolongnya

 فِي قِصَّةِ يُوسُفَ تَنْبِيهٌ عَلَى أَنَّ مَنْ كَادَ كَيْدًا مُحَرَّمًا فَإِنَّ اللَّهَ يَكِيدُهُ وَهَذِهِ سُنَّةُ اللَّهِ فِي مُرْتَكِبِ الْحِيَلِ الْمُحَرَّمَةِ فَإِنَّهُ لَا يُبَارِكُ لَهُ فِي هَذِهِ الْحِيَلِ كَمَا هُوَ الْوَاقِعُ، وَفِيهَا تَنْبِيهٌ عَلَى أَنَّ الْمُؤْمِنَ الْمُتَوَكِّلَ عَلَى اللَّهِ إذَا كَادَهُ الْخَلْقُ فَإِنَّ اللَّهَ يَكِيدُ لَهُ وَيَنْتَصِرُ لَهُ بِغَيْرِ حَوْلٍ مِنْهُ وَلَا قُوَّةٍ

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata:

Pada kisah Nabi Yusuf ada peringatan bahwa siapa yang berbuat tipuan haram, maka Alloh akan menipunya. Ini adalah sunatulloh pada orang yang buat hilah yang haram. Sesungguhnya ia tidak mendapetkan barakah pada hilah ini, sebagaimana kenyataan yang terjadi.

Pada kisah Nabi Yusuf ada peringatan bahwa seorang mukmin yang bertawakal kepada Alloh, apabila manusia menipunya, maka Alloh akan menipu untuknya dan menolongnya tanpa daya dan kekuatan darinya.

الفتاوى الكبرى لابن تيمية


✍🏻 Rohmatulloh Ngimaduddin, Lc
..
════ ❁✿ 📓📓✿❁ ════

Janganlah Menjadi Penentang (Orang yang Tidak Bersalah) karena (Membela) Orang-Orang yang Khianat

 

إِنَّا أَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ لِتَحْكُمَ بَيْنَ النَّاسِ بِمَا أَرَاكَ اللَّهُ وَلَا تَكُنْ لِلْخَائِنِينَ خَصِيمًا. وَاسْتَغْفِرِ اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ غَفُورًا رَحِيمًا.

 

“Sesungguhnya Kami telah menurunkan kitab kepadamu dengan membawa kebenaran, agar kamu mengadili antara manusia dengan apa yang telah Alloh wahyukan kepadamu, dan janganlah kamu menjadi penantang (orang yang tidak bersalah), karena (membela) orang-orang yang khianat. Dan mohonlah ampun kepada Alloh. Sesungguhnya Alloh Maha Pengampun Maha Penyayang.”

 

Dari Ibnu Abbas berkata: Ayat ini turun tentang seorang lelaki dari Anshar yang bernama Thu’mah bin Ubairiq dari Bani Zhafr bin Harits yang mencuri baju besi tetangganya yang bernama Qatadah bin Nu’man. Baju besi tersebut diletakkan di wadah yang ada tepung gandumnya. Sehingga tepung tersebut berceceran karena wadah tersebut berlubang sampai berakhir di rumah Thu’mah. Lalu Thu’mah menyembunyikan baju besi tersebut di rumah seorang Yahudi yang bernama Zaid bin Samin. Lalu saya mencari baju besi tersebut di rumah Thu’mah dan ia bersumpah dengan nama Alloh tidak mengambil baju besi dan ia tidak mengetahuinya. Para pemilik baju besi berkata, “Sungguh kami melihat jejak tepung sampai masuk rumah Thu’mah." Tatkala Thu’mah bersumpah, mereka meninggalkannya dan mengikuti jejak tepung sampai ke rumah Yahudi tersebut. Lalu mereka mengambil baju besi tersebut darinya. Yahudi tersebut berkata, “Thu’mah bin Ubairiq memberikannya kepadaku.”

 

Lalu Bani Zhafr kaumnya Thu’mah datang kepada Rasululloh صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ  dan meminta Rasululloh untuk membela teman mereka / Thu’mah. Mereka berkata kepada Rasululloh صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ, “Bila Engkau tidak melakukannya, maka teman kami akan terbongkar aibnya." Lalu Rasululloh صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ingin menghukum Yahudi tersebut.

 

Dalam riwayat lain dari Ibnu Abbas: Sesungguhnya Thu’mah mencuri baju besi dari suatu wadah yang ada tepungnya. Lalu ia merobek wadah tersebut sehingga tepungnya berceceran sepanjang jalan. Ia membawa baju besi tersebut sampai ke rumah Zaid Samin, lalu ia meletakkan wadah tersebut di depan pintu Zaid dan membawa baju besi tersebut ke dalam rumah Zaid.

 

Di pagi hari pemilik baju besi mengikuti jejak tepung tersebut ke rumah Zaid Samin. Ia mengambil dan membawa Zaid kepada Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ, maka Nabi berkeinginan untuk memotong tangan Zaid seorang Yahudi tersebut.

 

Muqatil berkata, “Sesungguhnya Zaid Samin menitipkan baju besi kepada Thu’mah. Lalu Thu’mah mengingkarinya, maka Alloh menurunkan ayat ini.”

 

Ia berkata, “’Sesungguhnya Kami telah menurunkan kitab kepadamu dengan membawa kebenaran,’ dengan perintah, larangan, dan perincian. ‘Agar kamu mengadili antara manusia dengan apa yang telah Alloh wahyukan kepadamu,’ dengan apa yang Alloh ajar dan wahyukan kepadamu. ‘Dan janganlah kamu (membela) orang-orang yang khianat.’ Yaitu Thu’mah. ‘خَصِيماً,’ menolong dan membelanya.”

 

“Dan mohonlah ampun kepada Alloh.” Dari apa yang ingin kamu lakukan untuk menghukum seorang Yahudi tersebut.

 

Muqatil berkata, “’Dan mohonlah ampun kepada Alloh,’ dari pembelaanmu terhadap Thu’mah.”

 

"Sesungguhnya Alloh Maha Pengampun Maha Penyayang.”

 

تفسير البغوي

 

✍🏻 Rohmatulloh Ngimaduddin, Lc

..

════ ❁✿ 📓📓✿❁ ════

Metode Menetapkan Hukum dan Sifatnya

 


 

Apabila dua orang yang bermusuhan hadir di hadapan hakim, maka hakim mendudukkan keduanya di hadapannya. Ia berkata, “Siapa di antara kalian berdua yang mengklaim?”¹ Atau ia menunggu sampai orang yang memiliki klaim mulai berbicara. Apabila ia mengklaim, maka ia mendengarkan klaimnya.

 

Apabila klaimnya datang dengan aspek yang benar, maka hakim bertanya kepada orang yang dituduh, “Apa sikapmu terhadap klaim ini?”

 

Apabila ia mengakuinya, maka hakim memutuskan hukum terhadap orang yang dituntut untuk orang yang menuntut dengan tuntutan ini.

 

Apabila orang yang dituntut mengingkari tuntutan tersebut, maka hakim berkata kepada orang yang menuntut, “Apabila kamu memiliki bukti / saksi, maka datangkanlah!” Karena wajib bagi orang yang menuntut untuk membenarkan / membuktikan tuntutannya agar hakim menetapkan hukum dengannya. Apabila ia mendatangkan bukti / saksi, maka hakim mendengarkan persaksian mereka dan menetapkan hukum dengannya.

 

Seorang hakim tidak menetapkan hukum dengan pengetahuannya, karena hal tersebut menyebabkan ia tertuduh (membela salah satu dari dua orang yang bermusuhan).

 

Ibnu al-Qayyim berkata, “Karena hal tersebut menjadi sarana untuk menetapkan hukum dengan kebatilan.” Ia berkata, “Saya memutuskan hukum dengan pengetahuanku.” (Zad al-Ma’ad).

 

Ia berkata, “Telah shahih dari Abu Bakar, Umar, Abdurahman bin ‘Auf, dan Mu’awiyah larangan dari hal tersebut dan tidak ada seorang sahabat pun yang menyelisihi mereka. Sungguh pemimpin para hakim mengetahui dari orang-orang munafik apa yang boleh untuk menumpahkan darah-darah mereka dan dirampasnya harta mereka, serta faktanya hal tersebut. Akan tetapi Nabi tidak menetapkan hukum dengan pengetahuannya bersamaan dengan berlepas dirinya Nabi di sisi Alloh, para malaikat-Nya, dan para hamba-Nya dari setiap tuduhan.”

 

Ibnu al-Qayyim berkata, “Akan tetapi boleh baginya -seorang hakim- untuk menetapkan hukum dengan apa yang mutawatir dan banyaknya kabar-kabar yang bergabung dalam mengetahui kabar tersebut ia dan selainnya. Boleh baginya untuk bersandar kepada apa yang ia dengar dari banyak orang, karena ini termasuk bukti yang paling nyata dan ia tidak akan dituduh (membela salah satu dari dua orang yang bermusuhan) apabila ia bersandar kepada kabar yang mutawatir tersebut. Menetapkan hukum dengan kabar mutawatir adalah menetapkan hukum dengan hujah, bukan sekedar bersandar kepada pengetahuan pribadinya yang tidak ada seorang pun yang bergabung dengannya dalam pengetahuan tersebut.”

 

Apabila orang yang menuntut berkata, “Saya tidak memiliki bukti.” Maka hakim memberitahunya bahwa baginya sumpah dari musuhnya. Berdasarkan apa yang diriwayatkan Muslim dan Abu Dawud bahwa dua orang lelaki bermusuhan di hadapan Nabi , seorang Hadhrami dan seorang Kindi. Hadhrami berkata, “Wahai Rasululloh, orang ini merampas tanahku!” Kindi berkata, “Ia adalah tanahku, di tanganku, dan ia tidak memiliki hak terhadap tanah tersebut!” Lalu Nabi berkata kepada Hadhrami, “Apakah kamu memiliki bukti?” Ia menjawab, “Tidak.” Nabi berkata, “Bagimu sumpahnya.” (HR. Muslim dan Abu Dawud).

 

Ibnu al-Qayyim berkata, “Ini adalah kaidah syariat yang terus digunakan, karena sumpah adalah dari sisi orang yang dituduh yang mana orang yang menuduh tidak bisa menguatkan dengan sesuatu pun selain tuntutan. Maka sisi orang yang dituntut lebih pantas untuk bersumpah karena kuatnya dirinya dengan hukum asalnya seseorang berlepas dirinya dari tuntutan. Maka ia -orang yang dituntut- lebih kuat dari dua orang yang bermusuhan dengan istishab hukum asal. Maka sumpah tersebut dari dirinya.” (Lihat: Hasyiyah ar-Raudh al-Murbi’).

 

Apabila orang yang menuntut meminta sumpah orang yang dituntut, maka hakim memintanya untuk bersumpah dan membebaskannya (dari tuntutan). Karena hukum asalnya ia berlepas diri dari tuntutan.

 

Akan tetapi disyaratkan akan sahnya sumpah orang yang dituntut, hendaknya di atas sifat jawaban terhadap orang yang menuntut dan hendaknya setelah diperintahkan hakim sebab permintaan orang yang menuntut untuk meminta sumpahnya, karena hak dalam sumpah adalah milik orang yang menuntut, maka tidak dilaksanakan kecuali dengan permintaannya.

 

Apabila orang yang dituntut menolak untuk bersumpah dan enggan untuk bersumpah, maka hakim menetapkan hukum terhadapnya dengan menolak bersumpah / nukul. Seandainya kalau bukan orang yang menuntutnya benar, maka orang yang dituntut akan menolak tuntutan tersebut dengan bersumpah. Maka tatkala ia menolak bersumpah, penolakannya untuk bersumpah adalah indikasi nyata yang menunjukkan akan benarnya orang yang menuntut, sehingga penolakan ini didahulukan di atas hukum asal akan berlepas dirinya ia dari tuntutan.

 

Menetapkan hukum dengan nukul / penolakan untuk bersumpah adalah madzhab sejumlah ulama. Utsman رضي الله عنه telah memutuskan hukum dengannya. Sejumlah ulama berkata, “Sumpah dikembalikan kepada orang yang menuntut, terlebih apabila sisi yang ada padanya lebih kuat.”

 

Ibnu al-Qayyim رحمه الله berkata, “Yang syariat datang dengannya bahwa sumpah disyariatkan dari sisi orang yang lebih kuat dari dua orang yang bermusuhan. Siapa pun dari dua orang yang bermusuhan yang lebih kuat apa yang ada pada dirinya, maka sumpah diberikan pada dirinya. Ini adalah madzhab jumhur ulama, semisal penduduk Madinah dan para fuqaha’ hadis semisal Imam Ahmad, Imam Syafi’i, Imam Malik, dan selain mereka.” Ia berkata, “Sebagaimana para sahabat memutuskan hukum dengannya dan dibenarkan Ahmad dan selainnya.” Ia berkata, “Itu tidak jauh, ia bersumpah dan mengambil (haknya). Ini yang dipilih Syaikh (Ibnu Taimiyah).” (Zad al-Ma’ad).

 

Abu Ubaid berkata, “Mengembalikan sumpah kepada orang yang menuntut ada dasarnya dalam al-Qur’an dan as-Sunnah.”

 

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah رحمه الله berkata, “Tidak dinukil dari para sahabat tentang nukul dan mengembalikan sumpah (kepada orang yang menuntut) adanya perselisihan. Akan tetapi, ini memiliki tempatnya dan ini memiliki tempatnya. Pada setiap tempat, memungkinkan bagi orang yang menuntut untuk mengetahui dan mengilmuinya. Apabila orang yang dituntut menolak bersumpah, maka apabila orang yang menuntut bersumpah, ia berhak (dengan tuntutannya). Apabila ia tidak mau bersumpah, maka tidak diputuskan hukum untuknya dengan nukul / penolakan sumpah orang yang dituntut. Ini semisal hukum Utsman bin Affan. (Lihat: Hasyiyah ar-Raudh al-Murbi’).

 

Ibnu al-Qayyim berkata, “Ini yang dipilih Syaikh kami. Ini adalah pemutus perselisihan dalam nukul dan mengembalikan sumpah.” (ath-Thuruq al-Hukmiyah).

 

Ia berkata, “Apabila orang yang dituntut sendirian dengan mengetahui kondisi tersebut, apabila ia tidak bersumpah, maka diputuskan hukum terhadapnya. Adapun apabila orang yang menuntut yang sendirian, maka sumpah dikembalikan kepadanya. Apabila ia tidak mau bersumpah, maka tidak diputuskan hukum untuknya dengan penolakan sumpah dari orang yang dituntut. Penetapan yang benar ini adalah paling baiknya apa yang dikatakan tentang nukul dan mengembalikan sumpah.” (Lihat: Hasyiyah ar-Raudh al-Murbi’).

 

Apabila orang yang mengingkari bersumpah dan hakim membebaskannya, sebagaimana yang telah lalu, lalu orang yang menuntut mendatangkan bukti setelah itu, maka apabila sebelumnya ia telah menafikan bukti dengan ia berkata, “Saya tidak memiliki bukti,” maka bukti / saksi tersebut tidak didengar darinya setelah itu. Karena ia mendustakan saksi tersebut dengan perkataannya, “Saya tidak memiliki saksi / bukti.” Apabila ia tidak menafikan saksi / bukti, maka didengar saksi tersebut dan hakim memutuskan hukum  dengan saksi / bukti tersebut.

 

Sumpahnya orang yang mengingkari tidak menghilangkan hak (orang yang menuntut). Karena tuntutan tidak batal dengan meminta sumpah (orang yang dituntut) dan sumpahnya orang yang mengingkari. Akan tetapi sumpah untuk menghilangkan permusuhan, bukan menghilangkan hak (orang yang menuntut). Demikian pula kalau ia berkata, “Saya tidak memiliki bukti / saksi.” Lalu ia mendapati bukti / saksi, maka saksi / bukti tersebut didengar darinya dan diputuskan hukum dengan bukti / saksi tersebut. Karena ia tidak mendustakan bukti / saksi tersebut.

 

__________________________________________

(1)   Klaim adalah tuntutan pengakuan atas suatu fakta bahwa seseorang berhak (memiliki atau mempunyai) atas sesuatu. (KBBI).

 

Sumber: الملخص الفقهي للشيخ  صالح الفوزان حفظه الله

 

 

✍🏻Rohmatulloh Ngimaduddin, Lc

       ..

════❁✿📓📓✿❁═══