Rabu, 24 Mei 2023

Berdebat untuk Menampakkan Kebenaran dan Menolak Kebatilan

 

وأمَّا المجادلةُ بالتي هي أحسن لإظهار الحقّ وردِّ الباطل فذلك حقٌّ، وقد أمر اللهُ به في قوله: {ادْعُ إِلَى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ} ، وقال: {وَلا تُجَادِلُوا أَهْلَ الْكِتَابِ إِلَّا بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ إِلَّا الَّذِينَ ظَلَمُوا}

 

Syaikh al-Abbad حفظه الله berkata:

 

Dan adapun berdebat dengan cara yang lebih baik untuk menampakkan kebenaran dan menolak kebatilan, maka itu adalah benar. Sungguh Alloh telah memerintahkan dengannya dalam firman-Nya:

اُدْعُ اِلٰى سَبِيْلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِيْ هِيَ اَحْسَنُۗ

Serulah (manusia) kepada jalan Rabbmu dengan hikmah dan pengajaran yang baik, dan berdebatlah dengan mereka dengan cara yang baik.”

 

Alloh berfirman:

وَلَا تُجَادِلُوا أَهْلَ الْكِتَابِ إِلَّا بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ إِلَّا الَّذِينَ ظَلَمُوا مِنْهُمْ

“Dan janganlah kamu berdebat dengan Ahli Kitab, melainkan dengan cara yang paling baik, kecuali dengan orang-orang zhalim di antara mereka.”

 

قطف الجني الداني شرح مقدمة رسالة ابن أبي زيد القيرواني

 

Seorang Mukmin Tidak Disengat Dua Kali dari Satu Lubang

 

قَالَ رَسُولُ اللهِ  ﷺ: لَا يُلْدَغُ الْمُؤْمِنُ مِنْ جُحْرٍ وَاحِدٍ مَرَّتَيْنِ

 

 

Rasululloh bersabda, “Seorang mukmin tidak disengat dua kali dari satu lubang.” (Muttafaq ‘alaih).

 

Sengatan adalah sengatan seekor ular. Seorang mukmin adalah seorang yang pintar, cerdas, dan menjaga dirinya.

 

“Tidak disengat dua kali dari satu lubang,” maknanya apabila terjadi baginya sesuatu dari pekerjaan apa pun maka ia tidak kembali mengulanginya, karena ia berhati-hati. Tidak mungkin untuk ia disengat dua kali. Apabila ia disengat dari satu lubang, maka ia meninggalkan lubang tersebut dan ia mengetahui bahwa tidak ada manfaat dari lubang tersebut.

 

Seorang mukmin tidak disengat dua kali dari satu lubang karena ia berhati-hati, pintar, cerdas, dan tidak bisa ditipu. Yang demikian menunjukkan bahwa seseorang selayaknya untuk cerdas dan hendaknya ia tidak mengulangi sesuatu yang menimpakan kemudharatan kepada dirinya. Akan tetapi ia beriman karena ini termasuk kesempurnaan iman.

 

شرح رياض الصالحين للشيخ عثيمين

 

 

 

Manusia Cinta Harta

 

فَمَنْ سَأَلَ النَّاسَ مَا بِأَيْدِيهِمْ، كَرِهُوهُ وَأَبْغَضُوهُ؛ لِأَنَّ الْمَالَ مَحْبُوبٌ لِنُفُوسِ بَنِي آدَمَ، فَمَنْ طَلَبَ مِنْهُمْ مَا يُحِبُّونَهُ، كَرِهُوهُ لِذَلِكَ.

 

Ibnu Rajab رحمه الله berkata:

 

“Siapa yang meminta kepada manusia apa yang ada pada tangan mereka, maka mereka akan membencinya dan marah kepadanya. Karena harta dicintai jiwa-jiwa manusia. Siapa yang meminta kepada mereka apa yang mereka cintai, maka mereka akan membencinya karena hal tersebut.”

 

جامع العلوم والحكم

 

 


 

Bertaubat dari Harta Haram


 

(Harta Haram Hasil Muamalat yang Tidak Saling Ridha dan Diketahui Keberadaan Rekan Transaksinya)

 

Barang/uang ini yang didapet dengan muamalat tanpa saling ridha, wajib dikembalikan jika diketahui pemiliknya dan masih ada zatnya serta blm terjadi perubahan pada bentuk fisiknya.

Bila barang/uang tersebut lenyap sama sekali, maka untuk kesepurnaan taubat, dia harus menggantinya atau meminta pemilik hak merelakannya.

 

Bila terjadi perubahan pada barang, maka perubahan itu berbagai bentuk:

-          Perubahan yang menyebabkan nilai barang menjadi berkurang. Pada kondisi ini, orang yang berbuat dosa tadi hendaknya menyerahkan barang yang tlh berubah serta memberikan ganti rugi atas kekurangan nilai barang.

-          Perubahan yang menyebabkan nilai barang menjadi bertambah, seperti kambing menjadi lebih gemuk atau beranak.

Pada kondisi ini, para ulama berbeda pendapet.

 

Pendapet awal: Ulama madzhab Syafi’i berpendapet bahwa barang tersebut hendaknya dikembalikan semuanya kepada pemilik awal dan orang yang telah mengembangkannya tidak mendapet imbalan apa pun. Pendapet ini berdasarkan sabda Nabi صلى الله عليه وسلم:

وليس لعرقٍ ظالمٍ فيه حق

“Orang yg telah berbuat kezhaliman (dengan mendapet barang dengan tanpa keridhaan pihak kedua) keringatnya (usahanya mengembangkan barang tersebut) sama sekali tidak memiliki nilai yang patut dibayar.” (HR. Muslim)

(Menerjemahkan ‘irq dengan keringat, kurang tepat. Untuk lebih jelasnya lihat terjemahan saya terhadap syarh hadis ini: Hadis “Tidak Ada Hak Bagi Akar Pohon yang Zhalim.”)

 

Pendapet kedua: Menurut sebuah pendapet dalam madzhab hanbali bahwa nilai tambah dari barang tersebut adalah milik kedua belah pihak yang harus dibagi rata. Pendapet ini lebih adil.

 

Bila terjadi perubahan pada uang, maka perubahan tersebut ada dua macam:

 

-          Jumlah uangnya berkurang, maka ia wajib menambahnya atau meminta keikhlasan pihak yang dirugikan.

 

-          Jumlah uangnya bertambah, disebabkan pemilik yang tidak sah ini mengembangkannya dalam bentuk usahanya, semisal seorang koruptor menginvestasikan uang hasil korupsinya dan mendapet laba yang banyak. Pada saat dia bertaubat, apakah modal dan keuntungan semuanya diserahkan kepada pemilik modal yang sah?

 

Para ulama berbeda pendapet dalam hal ini.

 

Pendapet awal: Madzhab Syafi’i dan Hanbali berpendapet modal dan keuntungannya seluruhnya dikembalikan kepada pemilik yang sah. Pendapet ini berdasarkan sabda Nabi صلى الله عليه وسلم:

وليس لعرقٍ ظالمٍ فيه حق

“Orang yg telah berbuat kezhaliman (dengan mendapet barang dengan tanpa keridhaan pihak kedua) keringatnya (usahanya mengembangkan barang tersebut) sama sekali tidak memiliki nilai yang patut dibayar.” (HR. Muslim)

 

Dan juga diriwayatkan dari Ibnu Umar رضي الله عنهما , ia berkata: Aku mendengar Rasululloh صلى الله عليه وسلم, “Dahulu ada tiga orang pergi ke suatu tempat hingga mereka masuk ke dalam gua, tiba-tiba sebuah batu besar jatuh dari gunung dan menutup mulut gua.

 

Mereka berkata, ‘Sesungguhnya kita tidak akan bisa lolos dari batu tersebut, melainkan dengan kita berdoa kepada Alloh dengan perantara amal shalih yang pernah kita lakukan.’

 

Seorang lelaki di antara mereka berkata…

 

Orang ketiga berdoa, ‘Ya Alloh, aku pernah mempunyai beberapa orang buruh, semuanya kuberi upah kecuali satu orang, ia tidak mengambil upah tersebut lalu pergi begitu saja. Kemudian uang upahnya aku kembangkan sehingga menjadi banyak. Suatu saat dia datang kepadaku, lalu berkata, Hai hamba Alloh, berikan upahku!’

 

Aku berkata, ‘Seluruh yang engkau lihat di padang itu adlh upahmu, (terdiri dari unta, sapi, kambing, dan para budak).’

 

Ia berkata, ‘Hai hamba Alloh, jangan engkau permainkan aku.’

 

Aku berkata, ‘Aku tidak main-main.’

 

Lalu ia mengambil seluruh harta tersebut dan tidak ada satu pun yang ia sisakan. Ya Alloh, bila aku melakukan hal tersebut ikhlas karena mengharap Wajah-Mu selamatkan kami dari batu ini.’

Maka mulut gua terbuka dan mereka keluar meninggalkan gua.” (HR. Bukhari dan Muslim).

 

Dan juga dalam kasus yang diriwayatkan oleh Bukhari bahwa Rasululloh memberi uang satu dinar kepada Urwah agar ia membelikan seekor kambing untuk Nabi صلى الله عليه وسلم.

 

Maka ia mendatangi para pedagang yang membawa kambing untuk dijual di pasar. Ia menawarkannya dan mendapetkan dua ekor kambing seharga satu dinar. Dalam perjalanan menuju Rasululloh صلى الله عليه وسلم ada seorang yang menawar seekor kambing yang dibawa Urwah seharga satu dinar, maka ia pun menjualnya. Sesampainya di hadapan Rasululloh صلى الله عليه وسلم, Urwah memberikan kepada Rasululloh صلى الله عليه وسلم satu dinar ditambah seekor kambing.

 

Dalam kisah di atas modal dan keuntungan dikembalikan kepada pemilik uang yang sah.

 

Pendapet kedua: Sebagian ulama berpendapet bahwa modal dikembalikan kepada pemilik yang sah dan pengembang. Pendapet ini didukung oleh Ibnu Taimiyah dan Ibnul Qayyim.

 

Pendapet ini berdalil dengan kisah mudharabah antara Ibnu Umar رضي الله عنهما  dengan modal harta Negara yang dititipkan oleh Abu Musa al-Asy’ari رضي الله عنه.

 

Imam Malik meriwayatkan bahwa Abdulloh dan Ubaidulloh anak Umar bin Khathabرضي الله عنهم  ikut dalam pasukan yang diutus ke Irak.

 

Sebelum kembali ke Madinah mereka mampir ke kota Bashrah menemui Abu Musa al-Asy’ari, gubernur kota. Abu Musa menitipkan kepada keduanya sejumlah uang Negara yang hendak dikirimkan ke Khalifah Umar bin Khathab, dengan berkata, “Uang ini saya pinjamkan kepada kalian berdua, lalu kalian beli barang perniagaan dari Irak dan kalian jual di Madinah. Setelah itu kalian serahkan kepada Khalifah uang Negara dan labanya adalah milik kalian.”

 

Dua orang sahabat Nabi صلى الله عليه وسلم  ini dan sekaligus anak Khalifah menyetujuinya.

 

Sesampainya di Madinah, mereka menjual barang perniagaan dan memperoleh keuntungan. Lalu menyerahkan surat dari gubernur Bashrah kepada Umar, yang berisi bahwa ia menitipkan uang Negara melalui Abdulloh dan Ubaidulloh, serta mengizinkan mereka memperdagangkannya.

 

Umar bertanya kepada kedua anaknya, “Apakah seluruh tentara yang ikut dalam perjalanan tersebut mendapet pinjaman yang sama?”

 

Mereka menjawab, “Tidak.”

 

Umar berkata, “Karena kalian anak Khalifah, maka dia memberikan kalian pinjaman modal! Serahkan modal dan labanya ke Baitul Mál (Kas Negara)!”

 

Abdulloh diam, tidak menjawab. Adapun Ubaidulloh memberanikan diri untuk menyanggah, “Wahai Amirul Mukminin, tidak pantas engkau lakukan itu! Karena bila perniagaan kami rugi, kami tetap mengganti harta Negara!”

 

Seseorang yang hadir dalam majlis berkata, “Wahai Amirul Mukminin, buatlah akadnya menjadi mudharabah.”

 

Umar menyetujuinya. Maka Modal dan ½ laba diambil Umar dan diberikan ke Baitul Mál, sedangkan ½ laba bagi hasil untuk Abdulloh dan Ubaidulloh. (Muwaththa’). (Ibnu Hajar berkata, “Sanad atsar ini shahih.”)

 

Dari atsar ini dapet diambil hukum bahwa keuntungan dari usaha yang modalnya berasal dari harta milik orang lain merupakan milik bersama antara pemilik modal yang sah dan pengembang modal yang keberadaan modal di tangannya tidak sah.

 

Wallohu a’lam, dari satu sisi pendapet ini lebih adil.

 

Sumber: Harta Haram Muamalat Kontemporer karya Dr. Erwandi Tarmizi, MA

 

 


Balasan Merampas Tanah Orang



عَنْ سَعِيدِ بْنِ زَيْدٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَنْ أَخَذَ شِبْرًا مِنَ الْأَرْضِ ظُلْمًا، فَإِنَّهُ يُطَوَّقُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مِنْ سَبْعِ أَرَضِينَ. مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ.

Dari Sa’id bin Zaid رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ berkata: Rasululloh ﷺ bersabda, “Siapa yang mengambil sejengkal tanah dengan zhalim, maka akan dikalungkan kepadanya dari tujuh bumi di Hari Kiamat.” (Muttafaq ‘alaih)


Dalam Mirqátul Mafátíh Syarh Misykátil Mashábíh disebutkan:


 “Siapa yang mengambil sejengkal,” yaitu seukuran sejengkal dan yang dimaksudkan adalah sesuatu (dari tanah).


“Tanah dengan zhalim,” yaitu diambil secara zhalim.


“Maka sesungguhnya,” yaitu sejengkal tanah tersebut.


“Akan dikalungkan kepadanya,” yaitu dijadikan kalung di lehernya.


“Dari tujuh bumi di Hari Kiamat,” Imam Nawawi رحمه الله berkata, “Para ulama berkata: Ini pernyataan gamblang bahwa bumi ada tujuh tingkat. Ini sesuai dengan firman Alloh تعالى:

سَبْعَ سَمَاوَاتٍ وَمِنَ الْأَرْضِ مِثْلَهُنَّ

“Tujuh langit dan seperti itu pula bumi.” Dan pendapet orang yang berkata, “Yang dimaksudkan dengan tujuh bumi adalah tujuh wilayah, (ini) menyelisihi zhahir. Karena orang yang merampas sejengkal tanah tidak dikalungkan kepadanya sejengkal tanah dari tiap-tiap wilayah, berbeda dengan bumi yang bertingkat-tingkat. Sesungguhnya tingkatan-tingkatan bumi tersebut mengikuti sejengkal tanah ini dalam kepemilikan.

Ath-Thibi رَحِمَهُ اللَّهُ berkata: Menguatkan ini hadis ketiga. Alloh membebaninya untuk menggalinya sampai mencapai akhir tujuh bumi.


Dalam Syarhus Sunnah: Makna tathwíq; Alloh menenggelamkannya kedalam bumi sehingga sebidang tanah yang ia rampas tersebut berada di lehernya semisal kalung. Ada yang berkata: Dikalungkan untuk membawa sejengkal tanah tersebut pada Hari Kiamat, yaitu ia dibebani. Sehingga (ini) termasuk kalung taklíf (pembebanan), bukan kalung taqlíd (adat), berdasarkan apa yang diriwayatkan oleh Salim dari bapaknya bahwa Nabi bersabda:

مَنْ أَخَذَ مِنَ الْأَرْضِ شَيْئًا بِغَيْرِ حَقِّهِ خُسِفَ بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِلَى سَبْعِ أَرَضِينَ

“Siapa yang mengambil sesuatu dari tanah dengan tanpa haknya maka ia akan ditenggelamkan (ke dalam tanah) sampai ke tujuh bumi di Hari Kiamat.” Ini riwayat Bukhari dari Ahmad.


Memungkinkan untuk menyatukan (pendapet-pendapet ini)  dengan dikatakan, “Dilakukan padanya (perampas tanah) semua adzab ini atau adzab tersebut berbeda-beda dalam kuat dan lemahnya karena perbedaan orangnya, (apakah) ia orang zhalim atau orang yang dizhalimi.”


Orang yang Berkhianat Harta Orang Lain Mendapetkan Dosa Orang yang Ia Khianati Tersebut, Apabila Ia Terjatuh dalam Dosa karena Ia Tidak Memiliki Harta

 

Soal: Apakah bagi orang yang berkhianat terhadap harta orang lain mendapetkan dosa semisal dosa-dosa orang lain tersebut apabila ia terjatuh dalam dosa sebab tidak menikah dan tidak menikahnya karena hartanya diambil pengkhianat tersebut sehingga ia tidak bisa menikah?

 

Jawab:

 

Tidak diragukan bahwa pengkhianat tersebut berdosa, apabila ia menyebabkan seseorang terjatuh dalam dosa karena ia mengambil hartanya. Ia berdosa dan yang mengetahui ukuran dosanya adalah Alloh.

 

Al-Mufti: الشيخ حسين الشراعي حفظه الله