Senin, 18 Oktober 2021

Hukum-Hukum Qadha’ dalam Islam

 


 

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah رحمه الله berkata, “Wajib menjadikan wilayah qadha’ sebagai agama dan mendekatkan diri kepada Alloh. Keduanya (wilayah qadha’ dan agama) adalah paling utamanya sarana untuk mendekatkan diri kepada Alloh. Sesungguhnya rusaknya kondisi kebanyakan orang karena mencari kepemimpinan dan harta dengan wilayah qadha’.” (al-Ikhtiyarat).

 

Dasarnya adalah al-Qur’an, as-Sunnah, dan Ijma’:

 

Alloh berfirman:

وَأَنِ احْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ

“Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Alloh.”

 

Alloh berfirman:

يَا دَاوُدُ إِنَّا جَعَلْنَاكَ خَلِيفَةً فِي الْأَرْضِ فَاحْكُمْ بَيْنَ النَّاسِ بِالْحَقّ

“Hai Daud, sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah (penguasa) di muka bumi, maka berilah keputusan di antara manusia dengan kebenaran.”

 

Sungguh Nabi telah mengurusi sendiri qadha’ dan Nabi mengangkat para hakim di  wilayah-wilayah yang di bawah kekuasaan Islam. Demikian pula para khalifah setelahnya.

 

Dan kaum muslimin telah berijma’ untuk mengangkat para qadhi untuk menyelesaikan masalah di antara manusia.

 

Qadha’ menurut bahasa maknanya, memantapkan sesuatu dan selesai darinya. Alloh berfirman:

فَقَضَاهُنَّ سَبْعَ سَمَاوَاتٍ فِي يَوْمَيْنِ

“Maka Dia (menyempurnakan) menjadikannya tujuh langit dalam dua masa.”

Qadha’ memiliki pula makna-makna lain.

 

Adapun menurut isthilah, qadha’ adalah menjelaskan hukum syar’i, mengharuskan hukum tersebut, dan memutus permusuhan.

 

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah رحمه الله berkata tentang seorang hakim, “Dari sisi menetapkan, ia adalah seorang saksi, dari sisi perintah dan larangan, ia adalah seorang mufti, dan dari sisi mengharuskan dengan hal tersebut, ia adalah seorang pemilik kekuasaan.” (al-Ikhtiyarat).

 

Hukum qadha’ dalam Islam bahwa ia adalah fardh kifayah karena perkara manusia tidak tegak tanpanya.

 

Imam Ahmad berkata, “Manusia harus ada hakimnya agar tidak hilang hak-hak manusia.”

 

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Nabi telah mewajibkan untuk menjadikan seorang pemimpin dalam perkumpulan yang sedikit yang terjadi karena safar,¹ ini adalah peringatan untuk berbagai macam perkumpulan.” (al-Ikhtiyarat).

 

Wajib bagi orang yang pantas untuk menjadi hakim untuk masuk ke dalamnya, apabila tidak ada selainnya. Dalam hal ini, ada keutamaan yang besar bagi orang yang kuat untuk melaksanakannya dan padanya ada bahaya yang besar dalam hak orang yang tidak melaksanakan kebenaran dalam qadha’.

 

Wajib bagi imam kaum muslimin untuk menunjuk para hakim sesuai dengan kemaslahatan yang menyeru kepadanya, agar hak-hak manusia tidak hilang. Dipilih orang yang paling utama yang didapatinya dalam ilmu dan kewara’an. Orang yang tidak ia ketahui akan keshalihannya, maka ia menanyakannya.

 

Wajib bagi seorang hakim untuk bersungguh-sungguh dalam menegakkan keadilan di antara manusia di puncak keadilan yang memungkinkannya. Tidak wajib baginya pada apa yang ia tidak mampu. Pemerintah menggajinya dari baitulmal apa yang mencukupinya sehingga ia fokus dalam melaksanakan qadha’. Sungguh para khulafa’urrasyidin telah menggaji untuk melaksanakan qadha’ dari baitulmal apa yang mencukupi para hakim.

 

Kepantasan untuk menjadi hakim dikembalikan kepada adat yang disesuaikan dengan setiap zaman. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah رحمه الله berkata, “Apa yang diambil manfaat untuk wilayah, yaitu kepantasan dalam wilayah qadha’ tidak ada batasannya dalam syariat. Akan tetapi diambil dari lafazh-lafazh, kondisi-kondisi, dan adat.” (al-Ikhtiyarat). Karena setiap apa yang tidak ada batasannya dalam syariat, dibawa kepada adat. Semisal tempat penyimpanan harta dan qabdh ‘mengambil barang yang dibeli dan menguasainya.’

 

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah رحمه الله berkata, “Wilayah hukum boleh dibagi-bagi dan tidak wajib bagi seseorang untuk berilmu di selain wilayahnya. Sesungguhnya jabatan ijtihad dibagi-bagi, sampai seandainya penguasa menjadikannya di jabatan warisan, tidak wajib baginya untuk berilmu di selain hukum-hukum warisan, wasiat, dan apa yang berkaitan dengan hal tersebut. Seandainya penguasa menjadikannya di jabatan akad nikah dan pembatalan nikah, maka tidak wajib baginya untuk mengetahui kecuali hal tersebut. Berdasarkan ini, apabila penguasa berkata, ‘Putuskan hukum pada apa yang kamu ketahui!’ Sebagaimana ia berkata, ‘Berfatwalah pada apa yang kamu ketahui!’ maka boleh. Apa yang tidak diketahuinya dinamakan dengan di luar wilayahnya. Sebagaimana kita katakan pada seorang hakim yang orang-orang kafir menerima hukumnya dan pada dua hakim untuk memutuskan hukuman dalam berburu binatang buruan (waktu ihram).” (al-Ikhtiyarat).

 

Di zaman ini, kementrian keadilan telah menjadikan aturan yang para hakim berjalan di atasnya dalam wilayah mereka dan ditentukan kepantasan mereka dengan aturan tersebut.  Maka wajib melihat aturan tersebut dan berpegang dengannya, karena dengan hal tersebut ada patokan untuk perkara-perkara qadha’ dan penentuan kepantasan para hakim. Aturan ini tidak menyelisihi nash dari al-Qur’an dan tidak pula dari as-Sunnah, maka wajib mengamalkannya.

 

Disyaratkan pada orang yang menjabat hakim untuk terpenuhi padanya sepuluh sifat yang harus ada sesuai yang memungkinkan:

 

-          Hendaknya ia mukalaf, yaitu balig dan berakal. Karena orang yang tidak mukalaf di bawah perwalian orang lain, sehingga ia tidak pantas menjadi wali untuk orang lain.

 

-          Hendaknya ia seorang lelaki, berdasarkan sabda Nabi:

ما أفلح قوم ولوا أمرهم امرأة

“Tidak akan beruntung suatu kaum yang menyerahkan urusan mereka (kepemimpinan) kepada seorang wanita.” (HR. Bukhari).

 

-          Hendaknya ia seorang yang merdeka, karena seorang budak sibuk dengan hak-hak tuannya.

 

-          Hendaknya ia seorang muslim, karena Islam adalah syarat keadilan dan karena yang dituntut adalah menghinakan orang-orang kafir dan dalam menjadikan seorang kafir sebagai hakim adalah mengangkat dan memuliakannya.

 

-          Hendaknya ia adil, maka tidak boleh mengangkat menjadi hakim seorang fasik, berdasarkan firman Alloh:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنْ جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَأٍ فَتَبَيَّنُوا

Hai orang-orang yang beriman, bila datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah kebenarannya.”

Apabila kabar seorang fasik tidak diterima, maka tidak menerima hukumnya lebih pantas.

 

-          Hendaknya ia bisa mendengar, karena seorang yang tuli tidak bisa mendengar perkataan dua orang yang bermusuhan.

 

-          Hendaknya ia bisa melihat, karena seorang yang buta tidak mengetahui siapa menuduh dan siapa yang dituduh.

 

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah رحمه الله berkata, “Kias madzhab, bolehnya perwaliannya (menjabat wilayah qadha’) sebagaimana bolehnya persaksiannya. Karena tidak melemahkannya kecuali melihat orang yang bermusuhan dan ia tidak butuh kepada hal tersebut. Akan tetapi ia memutuskan perkara di atas sifat orang tersebut. Sebagaimana Dawud memutuskan perkara dua malaikat. Ini dirasa benar secara mutlak. Diterangkan orang-orang yang menjadi saksi dan orang-orang yang bermusuhan, sebagaimana diterangkan makna perkataan mereka dalam terjemah. Karena mengetahui perkataannya dan mengetahui orangnya adalah sama. (al-Ihtiyarat).

 

-          Disyaratkan bagi seorang hakim, hendaknya ia bisa berbicara. Karena orang yang bisu tidak mungkin untuk berbicara dan tidak semua manusia bisa memahami isyaratnya.

 

-          Hendaknya ia seorang yang mujtahid, walaupun dalam madzhabnya yang ia taklid terhadap seorang imam dari para imam, dengan ia mengetahui pendapet yang rajih dari yang marjuh.

 

-          Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah رحمه الله berkata, “Syarat-syarat ini dilaksanakan sesuai dengan yang memungkinkan. Wajib menjadikan jabatan hakim kepada orang yang paling bagus. Di atas ini yang ditunjukkan perkataan Ahmad dan selainnya. Diberikan jabatan hakim kepada orang yang paling bermanfaat dan paling sedikit keburukannya dari dua orang fasik, paling adilnya dari dua orang yang taklid, dan paling mengetahui tentang taklid dari dua orang yang taklid.”

 

Penulis kitab al-Furu’ berkata, “Ini sebagaimana yang dikatakan Syaikhul Islam.”

 

Ia berkata dalam al-Inshaf tentang memberikan jabatan hakim kepada seorang yang taklid, “Ini yang diamalkan sejak waktu yang lama. Bila tidak, maka akan berhenti hukum-hukum di antara manusia.” (al-Inshaf).

 

Ibnu al-Qayyim berkata, “Sesungguhnya seorang mujtahid adalah seorang yang berilmu tentang al-Qur’an dan as-Sunnah, dan kadang-kadang ijtihadnya tidak menafikan taklidnya ia kepada orang lain. Kamu tidak mendapati seornag pun dari para imam kecuali ia taklid kepada orang yang lebih berilmu daripada dirinya dalam sebagian hukum-hukum.” (I’lam al-Muwaqqi’in).

 

(1)   Sebagaimana dalam hadis Abu Hurairah dan Abu Sa’id:

إِذَا كَانَ ثَلَاثَةٌ فِي سَفَرٍ فَلْيُؤَمِّرُوا أَحَدَهُمْ

“Apabila tiga orang dalam suatu safar, maka hendaknya mereka menjadikan pemimpin salah satu dari mereka.” (HR. Abu Dawud).

 

Sumber: الملخص الفقهي للشيخ  صالح الفوزان حفظه الله

 

 

✍🏻Rohmatulloh Ngimaduddin, Lc

       ..

════❁✿📓📓✿❁═══

 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar