Qaidah dalam hal tersebut: Amar ma’ruf tidak
mengandung terlepasnya (perkara ma’ruf) yang lebih besar dari hal tersebut atau
diperolehnya yang lebih mungkar. Nahyu munkar tidak mengandung diperolehnya
yang lebih mungkar atau terlepasnya yang ma’ruf yang lebih rajih. Sebagaimana
perkataan Syaikhul Islam dalam Al-Hisbah.
Syaikhul Islam berkata dalam al-Amr bi
al-Ma’rúf, menerangkan kesalahan sebagian kelompok dalam hal tersebut,
yaitu kelompok orang yang ingin memerintah dan melarang, mungkin dengan
lisannya, mungkin dengan tangannya secara mutlak, dengan tanpa fikih, tidak
pula kelembutan, tidak pula kesabaran, tidak pula melihat apa yang bermaslahat
dari hal tersebut dan apa yang tidak bermaslahat, serta apa yang mampu
dilaksanakan dan apa yang tidak mampu.
Lalu ia melaksanakan “memerintah
dan melarang” dengan keyakinan bahwa ia taat kepada Alloh dan Rasul-Nya,
padahal ia melanggar batasan-batasan Alloh.
Lalu Syaikhul Islam رحمه الله berkata, menerangkan inti dan kesimpulan hal
tersebut:
Kesimpulan hal tersebut masuk dalam qaidah umum
pada perkara yang bila bertabrakan atau terkumpul antara beberapa maslahat dan
beberapa mafsadat, beberapa kebaikan dan beberapa keburukan. Maka wajib
merajihkan yang rajih di antara semua itu, bila berkumpul antara beberapa
maslahat dan beberapa mafsadat, serta bertabrakan antara beberapa maslahat dan
beberapa mafsadat.
Sesungguhnya amar ma’ruf dan nahyu munkar –bila
mengandung diperolehnya maslahat atau tertolaknya mafsadat- maka dilihat yang
bersebrangan dengannya: Bila yang terlepas dari kemaslahatan-kemaslatan lebih
banyak atau diperoleh mafsadat lebih banyak maka tidak diperintahkan. Bahkan ia
haram, bila mafsadatnya lebih banyak daripada maslahatnya. Bila kemungkarannya
lebih dominan maka dilarang. Bila mengharuskan kelepasan perkara ma’ruf yang
lebih ringan dan perintah kepada yang ma’ruf tersebut yang mengharuskan
(menimbulkan) kemungkaran yang lebih (banyak dari sblmnya) adlh perintah kepada
kemungkaran dan usaha untuk maksiat kepada Alloh dan Rasul-Nya.
Murid Syaikhul Islam Imam Ibnu Qayyim
al-Jauziyah dalam I’lám al-Muwaqqi’ín berkata:
Sesungguhnya Nabi صلى الله عليه وسلم tlh mensyariatkan
kepada umatnya akan wajibnya mengingkari kemungkaran agar diperoleh –dengan
pengingkaran tersebut- dari perkara ma’ruf yang Alloh dan Rasul-Nya
mencintainya. Bila pengingkaran kemungkaran tersebut mengakibatkan kemungkaran
yang lebih besar dan lebih dibenci Alloh dan Rasul-Nya, maka pengingkaran
tersebut tidak boleh, walaupun Alloh benci dan murka kepada para pelakunya.
Ini adlh pengingkaran terhadap
para raja dan para penguasa dengan memberontak mereka. Sesungguhnya
pemberontakan adlh sumber setiap kerusakan dan fitnah sampai akhir zaman. Para
sahabat tlh meminta izin kepada Rasululloh صلى الله عليه وسلم untuk memerangi para
pemimpin yang mengakhirkan shalat dari waktunya. Mereka berkata, “Apakah kami
boleh memerangi mereka?” Rasululloh صلى الله عليه وسلم
menjawab, “Tidak, selama mereka mendirikan shalat.” (HR. Muslim)
Siapa yang merenungi apa yang terjadi pada
Islam dari fitnah-fitnah yang besar dan yang kecil maka ia akan mengetahui
sebabnya krn menyia-nyiakan dasar ini dan tidak sabar terhadap kemungkaran.
Lalu berusaha menghilangkannya, sehingga melahirkan kemungkaran yang lebih
besar. Sungguh Rasululloh صلى الله عليه وسلم
melihat kemungkaran yang paling besar di Mekah dan ia tidak bisa merubahnya.
Bahkan tatkala Alloh menaklukkan Mekah dan Mekah menjadi negeri Islam,
Rasululloh bertekad unutk merenovasi Baitulloh untuk dikembalikan di atas
pondasi Ibrahim, namun menghalangi hal tersebut –bersamaan dengan kemampuan
Rasululloh untuk mengerjakan hal tersebut- takut terjadinya kemungkaran yang
lebih besar berupa tidak tahannya (tidak terimanya) kaum Quraisy terhadap
renovasi tersebut krn mereka baru masuk Islam dan mereka baru saja keluar dari
kekufuran. Krnnya, Rasululloh صلى الله عليه وسلم
tidak mengizinkan untuk mengingkari para penguasa dengan tangan yang
mengakibatkan krn hal tersebut terjadinya kemungkaran yang lebih besar,
sebagaimana persis apa yang tlh terjadi.
Syaikhul Islam berkata dalam Majmú’ al-Fatáwá:”
Dari bab ini terdapet penetapan Nabi صلى الله عليه وسلم terhadap Abdulloh bin Ubay
dan semisalnya dari para pemimpin kemunafikan dan kefajiran, krn mereka
memiliki pengikut. Menghilangkan kemungkaran Abdulloh bin Ubay dengan satu
jenis hukuman mengakibatkan hilangnya perkara ma’ruf yang lebih besar daripada
hal tersebut, berupa kemarahan kaumnya, fanatik mereka (terhadap Abdulloh bin
Ubay), dan larinya manusia bila mendengar bahwa Muhammad membunuh para
sahabatnya.
Aku berkata (Syaikh Ali Hasan): Siapa yang
menyelisihi sesuatu dari manhaj ini yang tlh lalu penjelasannya dan
perinciannya, ia termasuk mereka orang-orang yang memerintahkan, melarang, dan
berperang untuk menuntut hilangnya fitnah yang mereka sangka. Perbuatan mereka
tersebut lebih besar fitnahnya, lebih keras ujiannya, lebih besar gangguannya,
lebih buruk keadaannya, dan lebih jelek akibatnya…
Sumber: ضوابط الأمر بالمعروف و النهي عن المنكر عند شيخ الإسلام
ابن تيمية للشيخ علي حسن الحلبي
✍🏻
Rohmatulloh Ngimaduddin, Lc
…
📱 Grup whatsapp "بيان الحق", Gabung:
~+6287700383901~ 085741351620