Jumat, 22 Oktober 2021

Adab-Adab Seorang Hakim

 


 

Yang dimaksudkan dengan adab-adab di sini adalah akhlak yang selayaknya dimiliki seorang hakim.

 

Imam Ahmad رحمه الله berkata, “Termasuk akhlak yang baik adalah kamu tidak marah dan tidak hasad.”

 

Ibnu al-Qayyim رحمه الله berkata, “Seorang hakim membutuhkan tiga perkara, tidak sah baginya untuk menetapkan hukum kecuali dengan tiga perkara tersebut; mengetahui dalil-dalil, sebab-sebab, dan bukti-bukti. Dalil-dalil mengenalkannya kepada hukum syar’i yang menyeluruh. Sebab-sebab mengenalkannya kepada tetapnya hukum tersebut di tempat tertentu ini atau ketidaktetapannya. Bukti-bukti mengenalkanmu metode menetapkan hukum tatkala terjadi perselisihan. Kapan pun ia salah dalam salah satu dari tiga perkara ini, maka ia akan salah dalam menetapkan hukum.”

 

Selayaknya bagi seorang hakim untuk kuat tapi tidak kejam agar tidak tamak padanya kezhaliman dan lembut tapi tidak lemah agar orang yang benar tidak segan kepadanya.

 

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah رحمه الله berkata, “Sesungguhnya wilayah memiliki dua rukun; kekuatan dan amanat.” (al-Ikhtiyarat).

 

Selayaknya bagi seorang hakim untuk bersifat lembut, agar ia tidak marah dengan perkataan orang-orang yang bermusuhan, sehingga kemarahannya tersebut menghalanginya dari memutuskan hukum.

 

Hukum adalah perhiasan, keelokan, dan keindahan ilmu. Kebalikannya adalah penyimpangan, terburu-buru, marah, grusa-grusu, tidak meneliti kebenaran suatu perkataan.

 

Selayaknya bagi seorang hakim untuk tidak terburu-buru, yaitu perlahan-lahan dan berhati-hati. Agar terburu-burunya tidak membawa kepada apa yang tidak seharusnya. Hendaknya ia cerdas agar tidak menipunya sebagian orang-orang yang bermusuhan. Hendaknya ia seorang yang menjaga kehormatannya, yaitu menjaga dirinya dari yang haram. Hendaknya ia seorang mengetahui hukum-hukum para hakim sebelumnya. Hendaknya kantornya di tengah kota, bila memungkinkan, agar sama jaraknya bagi orang-orang yang ingin menemuinya.

 

Tidak mengapa menetapkan hukum di masjid. Telah datang dari Umar, Utsman, dan Ali bahwa mereka memutuskan hukum di masjid.

 

Wajib bagi seorang hakim untuk adil di antara dua orang yang bermusuhan dalam memberikan pengarahan, mendudukkan dua orang yang bermusuhan, dan memasukkan keduanya kepadanya. Diriwayatkan Abu Dawud dari Ibnu Zubair berkata, “Rasululloh menetapkan bahwa dua orang yang bermusuhan duduk di hadapan seorang hakim.” Maka wajib untuk berbuat adil di antara keduanya dalam menduduk keduanya, pengarahannya dan perkataannya kepada keduanya.

 

Ibnu al-Qayyim berkata, “Ia dilarang untuk meninggikan tempat duduk salah satu dari dua orang yang bermusuhan, untuk menghadap kepadanya, berbicara dengannya, dan berdiri untuknya tanpa melakukan perbuatan yang sama terhadap musuhnya. Agar tidak menjadi sarana sakit hatinya yang lain, lemahnya ia untuk menyampaikan hujahnya, dan memberatkan lisannya untuk menyampaikan hujahnya.” (Zad al-Ma’ad).

 

Diharamkan bagi seorang hakim untuk berbisik kepada salah satu dari dua orang yang bermusuhan, mengajarinya berhujah, menjamunya, atau mengajarinya cara menyampaikan klaim. Kecuali ia meninggalkan apa yang harus ia lakukan dalam klaimnya.

 

Selayaknya bagi seorang hakim untuk menghadiri majlisnya para fuqaha’, ia bermusyawarah dengan mereka pada apa yang menyulitkannya, bila memungkinkan hal tersebut. Apabila telah jelas baginya suatu hukum, maka ia memutuskan dengannya. Bila belum jelas, maka ia mengakhirkannya sampai jelas baginya.

 

Diharamkan bagi seorang hakim untuk memutuskan hukum dan ia dalam keadaan sangat marah, berdasarkan hadis yang muttafaq ‘alaih bahwa Nabi bersabda:

لا يقضي حاكم بين اثنين وهو غضبان

“Janganlah seorang hakim memutuskan hukum di antara dua orang (yang bermusuhan) dan ia dalam keadaan marah.”

Karena marah mengacaukan hati dan akalnya, menghalanginya untuk mendapetkan kesempurnaan pemahaman, menghalangi antara dirinya dan kesempurnaan pemikiran, serta membutakannya dari jalan ilmu dan tujuan.

 

Dikiaskan dengan marah, setiap apa yang mengacaukan pikiran, semisal kondisi lapar, haus, sangat sedih, mengantuk, dingin yang menyakitkan, sangat panas, atau menahan kencing atau BAB. Karena semua itu mengganggu  pikiran yang pada umumnya dengan pikiran yang tanpa gangguan bisa menyampaikan kepada kebenaran. Ini semakna dengan marah.

 

Diharamkan bagi seorang hakim untuk menerima suap, berdasarkan hadis Ibnu Umar yang berkata:

لعن رسول الله صلى الله عليه وسل الراشي والمرتشي

“Rasululloh melaknat penyuap dan orang yang disuap.” (HR. Abu Dawud, Tirmidzi, dan Ibnu Majah). Tirmidzi berkata, “Ini hadis hasan shahih.”

 

Suap ada dua macam:

1-      Ia mengambil suap dari salah satu dari dua orang yang bermusuhan untuk ia memutuskan hukum untuknya dengan kebatilan.

2-      Ia menolak untuk menetapkan hukum dengan kebenaran bagi orang yang benar, sampai ia memberinya suap. Ini termasuk kezhaliman yang paling besar.

 

Demikian pula diharamkan bagi seorang hakim untuk menerima hadiah dari orang yang tidak biasa memberinya hadiah sebelum ia menjabat hakim. Nabi bersabda:

هدايا العمال غلول

“Hadiah untuk para pegawai adalah ghulul ‘haram.’” (HR. Ahmad).

 

Karena menerimah hadiah dari orang yang tidak biasa memberinya hadiah adalah sarana untuk membantu hajatnya.

 

Makruh bagi seorang hakim untuk melakukan jual beli, kecuali dengan mewakilkan yang tidak diketahui bahwa wakil tersebut adalah wakilnya dalam jual beli. Karena ditakutkan manusia akan segan, karena jual beli semisal hadiah.

 

Seorang hakim tidak memutuskan hukum untuk dirinya dan tidak pula untuk orang yang persaksiannya untuk dirinya tidak diterima, semisal bapaknya, anaknya, dan istrinya. Seorang hakim tidak menetapkan hukum terhadap musuhnya, karena adanya tuduhan (keinginan memudharatkan musuhnya) dalam kondisi ini. Kapan pun dipaparkan suatu masalah yang menyangkut dirinya atau orang yang persaksiannya untuknya tidak diterima, maka ia mengalihkannya kepada orang lain. Sungguh Umar telah bermusuhan dengan Ubai dan menjadikan Zaid bin Tsabit hakim di antara mereka berdua. Ali telah bermusuhan dengan seorang lelaki dari Irak dan menjadikan Syuraih hakim di antara mereka berdua. Utsman telah bermusuhan dengan Thalhah dan menjadikan Jubair bin Muth’im hakim di antara mereka berdua. -Semoga Alloh meridhai mereka semua-.

 

Disunahkan bagi seorang hakim untuk mendahulukan perkara-perkara yang kondisi para pelakunya menyeru untuk disegerakan perkara-perkara mereka diselesaikan, semisal perkara-perkara orang-orang yang dipenjara dan perkara-perkara anak-anak yatim dan orang-orang gila. Lalu perkara-perkara waqaf dan wasiat yang tidak ada nazhirnya.

 

Tidak batal hukum-hukum seorang hakim kecuali apa yang menyelisihi al-Qur’an dan as-Sunnah, atau menyelisihi ijma’ yang qath’i. Apabila demikian, maka wajib membatalkan hukumnya karena menyelisihi al-Qur’an dan as-Sunnah atau ijma’.

 

Dengan pemaparan singkat tentang adab-adab seorang hakim ini, maka jelas keadilan qadha’ dalam Islam dan akhlak yang tinggi yang ada pada para hakim yang mana peraturan-peraturan dunia tidak mampu untuk melaksanakan semisalnya atau mendekatinya. Maka benarlah firman Alloh:

أَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُونَ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللَّهِ حُكْماً لِقَوْمٍ يُوقِنُونَ

Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Alloh bagi orang-orang yang yakin?

 

Semoga Alloh memburukkan suatu kaum yang berpaling dari hukum rabbani ini dan menggantinya dengan undang-undang Setan. Mereka telah:

بَدَّلُوا نِعْمَتَ اللَّهِ كُفْراً وَأَحَلُّوا قَوْمَهُمْ دَارَ الْبَوَارِ جَهَنَّمَ يَصْلَوْنَهَا وَبِئْسَ الْقَرَارُ

“Menukar nikmat Alloh dengan kekafiran dan menjatuhkan kaumnya ke lembah kebinasaan. Yaitu Neraka Jahanam, mereka masuk kedalamnya, dan itulah seburuk-buruk tempat kediaman.

Sumber: الملخص الفقهي للشيخ  صالح الفوزان حفظه الله

 

 

✍🏻Rohmatulloh Ngimaduddin, Lc

       ..

════❁✿📓📓✿❁═══

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar