Senin, 01 November 2021

Syarat-Syarat Klaim

 


 

Klaim tidak sah kecuali diperinci. Apabila klaim piutang terhadap mayit misalnya, ia menyebutkan kematiannya, jenis piutangnya, ukurannya, dan setiap keterangan yang dengannya klaim tersebut jelas. Karena hukumnya berkaitan dengan klaim tersebut. Karenanya Nabi bersabda:

وإنما أقضي على نحو ما أسمع

“Sesungguhnya saya memutuskan hukum sesuai dengan apa yang saya dengar.” (Muttafaq ‘alaih).

Hadis ini menunjukkan akan wajibnya memerinci klaim agar jelas bagi hakim sisi penetapan hukumnya.

 

Tidak sah klaim kecuali diketahui yang dituntut. Tidak sah klaim dengan sesuatu yang tidak diketahui. Akan tetapi klaim harus berupa tuntutan terhadap sesuatu yang diketahui, untuk wajib diberikannya tuntutan tersebut apabila telah diputuskan. Kecuali klaim dengan sesuatu yang benar untuk tidak diketahui. Semisal wasiat dengan sesuatu dari hartanya, seorang budak dari budak-budaknya untuk dijadikan mahar, dan semisalnya. Sah klaim semisal ini, walaupun pada sesuatu yang tidak diketahui.

 

Harus menggamblangkan klaim. Tidak cukup berkata, “Saya memiliki gini padanya.” Sampai ia mengatakan, “Saya menuntutnya dengan gini.” Sesuatu yang dituntut harus saat ini (pelunasannya). Maka tidak sah klaim terhadap piutang yang belum waktu pelunasan. Karena piutang tersebut tidak wajib dituntut sebelum waktu pelunasannya dan ia (orang yang dituntut) tidak ditahan karenanya.

 

Disyaratkan untuk sahnya klaim, terlepasnya klaim dari apa yang mendustakannya, maka tidak sah tuntutan kepada seseorang bahwa ia membunuh atau mencuri sejak 20 tahun yang lalu, sedangkan umurnya kurang dari 20 tahun. Karena akal mendustakan hal tersebut.

 

Apabila ia mengklaim akad jual beli atau sewa menyewa, maka disyaratkan untuk sahnya klaim, menyebutkan syarat-syarat akad tersebut. Karena manusia berbeda-beda dalam syarat-syaratnya. Kadang akad tersebut tidak sah menurut hakim.

 

Apabila ia mengklaim warisan, maka ia harus menyebutkan sebabnya. Karena sebab-sebab warisan berbeda-beda, maka ia harus menyebutkan sebabnya.

 

Dianggap sahnya klaim dengan menyebutkan yang dituntut, apabila ada di majlis qadha’ atau di negeri tersebut, untuk menghilangkan kesamaran. Apabila yang dituntut tidak ada di majlis qadha’, maka harus menyifatinya dengan apa yang benar dengannya jual beli salam, dengan menyebutkan sifat-sifatnya secara akurat.

 

Disyaratkan untuk sahnya para saksi, keadilan mereka. Berdasarkan firman Alloh:

وَأَشْهِدُوا ذَوَيْ عَدْلٍ مِنْكُمْ

“Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di antara kamu.”

 

dan firman Alloh:

 

مِمَّنْ تَرْضَوْنَ مِنَ الشُّهَدَاءِ

“Dari saksi-saksi yang kamu ridhai.”

Dan firman Alloh:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنْ جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَأٍ فَتَبَيَّنُوا

“Hai orang-orang yang beriman, bila datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah kebenarannya.”

 

Para fuqaha’ berselisih, apakah para saksi harus adil secara zhahir dan batin atau cukup adil secara zhahir? Di atas dua pendapet. Yang rajih adalah dianggapnya keadilan secara zhahir. Karena Nabi menerima persaksian seorang arab baduwi dan karena perkataan Umar, “Kaum muslimin adalah orang-orang adil.” (HR. Baihaqi).

 

Seorang hakim memutuskan hukum dengan persaksian para saksi yang adil, selama tidak diketahui kebalikan persaksian tersebut. Apabila diketahui kebalikan persaksian tersebut, maka tidak boleh memutuskan hukum dengan persaksian tersebut.

 

Siapa yang hakim tidak mengetahui keadilan para saksi, hakim menanyakannya kepada orang yang memiliki pengetahuan akan batinnya dengan berteman, bermuamalat, atau bertetangga. Umar رضي الله عنه berkata kepada seorang lelaki yang merekomendasikan seorang lelaki di sisinya, “Kamu tetangganya?” Ia menjawab, “Bukan.” Umar bertanya, “Kamu menemaninya dalam safar yang tampak padanya akhlak kaum lelaki?” Ia menjawab, “Tidak.” Umar bertanya, “Apakah kamu bermuamalat dengannya dengan dinar dan dirham?” Ia menjawab, “Tidak.” Umar berkata, “Kamu tidak mengenalnya.” (Lihat: Hasyiyah ar-Raudh al-Murbi’).

Apabila bertentangan jarh dan ta’dil pada seorang saksi, didahulukan jarh / celaan. Karena orang yang menjarh mengabarkan tentang perkara batin. Sedangkan orang yang merekomendasikannya mengabarkan tentang perkara zhahir saja. Seorang yang mencela / jarh menetapkan celaan, sedangkan orang yang merekomendasikan menafikan celaan. Orang yang menetapkan celaan didahulukan daripada orang yang menafikan celaan.

 

Musuh yang menganggap adil para saksi atau membenarkan para saksi adalah ta’dil. Karena mencari keadilan para saksi adalah haknya ia. Karena pengakuannya akan keadilan para saksi adalah pengakuan dengan apa yang mewajibkan hak terhadap dirinya untuk musuhnya. Maka diambil pengakuannya ini.

 

Apabila seorang hakim mengetahui keadilan para saksi, maka ia memutuskan hukum dengan persaksian mereka dan ia tidak perlu kepada rekomendasi. Demikian pula kalau ia mengetahui ketidakadilan para saksi, maka ia tidak memutuskan hukum dengan persaksian mereka. Apabila ia ragu terhadap para saksi, maka ia bertanya kepada mereka bagaimana mereka mendapati persaksian tersebut dan dimana mereka mendapati persaksian tersebut.

 

Ibnu al-Qayyim berkata, “Yang demikian adalah wajib. Kapan pun ia menyimpang darinya, maka ia berdosa dan berbuat zhalim dalam memutuskan hukum. Dua orang lelaki bersaksi di hadapan Ali رضي الله عنه terhadap seorang lelaki bahwa ia telah mencuri. Ali meragukan keduanya. Lalu Ali memerintahkan keduanya untuk memotong tangan lelaki tersebut. Maka mereka berdua lari.” (Lihat: Hasyiyah ar-Raudh al-Murbi’).

 

Apabila musuh tersebut mencela para saksi (akan keadilannya), maka ia dibebani untuk menegakkan bukti akan celaan tersebut. Berdasarkan hadis:

البينة على المدعي

“Bukti / saksi bagi orang yang mengklaim.” (HR. Tirmidzi).

 

Maka ia ditunggu tiga hari. Apabila ia tidak mendatangkan bukti akan celaannya, maka ditetapkan hukum terhadapnya dengan persaksian para saksi. Karena ketidakmampuannya untuk mendatangkan bukti / saksi akan celaannya terhadap para saksi dalam waktu yang disebutkan adalah dalil akan ketidakbenaran klaim yang ia katakan terhadap para saksi.

 

Apabila hakim tidak mengetahui kondisi para saksi, maka ia meminta orang yang mengklaim / menuntut untuk mendatangkan rekomendasi para saksi agar tetap keadilan mereka. Lalu hakim memutuskan hukum dengan persaksian mereka. Dalam rekomendasi seorang saksi harus dengan dua orang saksi yang bersaksi akan keadilannya. Ada yang berpendapet, cukup satu saksi untuk rekomendasinya.

 

Diputuskan hukum untuk orang yang tidak hadir sejauh jarak mengqashar shalat, apabila tetap hak atasnya. Karena Hindun berkata, “Wahai Rasululloh, sesungguhnya Abu Sufyan seorang lelaki yang bakhil. Ia tidak memberiku nafkah apa yang mencukupiku dan anakku.” Nabi berkata, “Ambillah apa yang mencukupimu dan anakmu secara ma’ruf.” (Muttafaq ‘alaih).

Ini menunjukkan akan benarnya hukum terhadap orang yang tidak hadir. Lalu apabila orang yang tidak hadir tersebut datang, maka ia di atas hujahnya karena hilangnya penghalang (untuk menyampaikan hujahnya).

 

Dianggap benar dalam memutuskan hukum terhadap orang yang tidak hadir, bila orang yang tidak hadir tersebut berada di selain wilayah hakim. Adapun kalau ia tidak hadir dan berada di wilayahnya hakim dan tidak ada hakim di tempat tersebut, maka hakim menulis surat kepada orang yang pantas untuk memutuskan hukum di antara keduanya. Bila tidak memungkinkan, maka hakim menulis surat kepada orang yang mendamaikan keduanya. Bila tidak memungkinkan, maka hakim berkata kepada orang yang mengklaim, “Buktikan klaimmu!” Apabila ia melakukannya, maka ia menghadirkan musuhnya, walaupun jaraknya jauh.

 

Imam Ahmad menyebutkan bahwa madzhab penduduk Madinah, mereka memutuskan hukum terhadap orang yang tidak hadir. Imam Ahmad berkata, “Ini adalah madzhab yang bagus.”

 

Zarkasyi berkata, “Imam Ahmad tidak mengingkari mendengarkan klaim dan tidak pula (mendengarkan) para saksi.” Zarkasyi meriwayatkan ini pendapet penduduk Madinah dan Irak. Seakan-akan ini tempat kesepakatan menurutnya.

 

Didengarkan klaim / tuntutan kepada selain mukalaf dan diputuskan hukum dengan klaim tersebut. Berdasarkan hadis Hindun. Lalu apabila ia menjadi mukalaf setelah diputuskan hukum terhadapnya, maka ia di atas hujahnya. (Lihat: Hasyiyah ar-Raudh al-Murbi’).

 

Sumber: الملخص الفقهي للشيخ  صالح الفوزان حفظه الله

 

 

✍🏻Rohmatulloh Ngimaduddin, Lc

       ..

════❁✿📓📓✿❁════

Tidak ada komentar:

Posting Komentar