Jumat, 21 Juli 2017

Fitnah Ahlas





قال عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عُمَرَ: كُنَّا قُعُودًا عِنْدَ رَسُولِ اللَّهِ، فَذَكَرَ الْفِتَنَ فَأَكْثَرَ فِي ذِكْرِهَا حَتَّى ذَكَرَ فِتْنَةَ الْأَحْلَاسِ، فَقَالَ قَائِلٌ: يَا رَسُولَ اللَّهِ وَمَا فِتْنَةُ الْأَحْلَاسِ؟ قَالَ: " هِيَ هَرَبٌ وَحَرَبٌ، ثُمَّ فِتْنَةُ السَّرَّاءِ، دَخَنُهَا مِنْ تَحْتِ قَدَمَيْ رَجُلٍ مِنْ أَهْلِ بَيْتِي يَزْعُمُ أَنَّهُ مِنِّي، وَلَيْسَ مِنِّي، وَإِنَّمَا أَوْلِيَائِي الْمُتَّقُونَ، ثُمَّ يَصْطَلِحُ النَّاسُ عَلَى رَجُلٍ كَوَرِكٍ عَلَى ضِلَعٍ، ثُمَّ فِتْنَةُ الدُّهَيْمَاءِ، لَا تَدَعُ أَحَدًا مِنْ هَذِهِ الْأُمَّةِ إِلَّا لَطَمَتْهُ لَطْمَةً، فَإِذَا قِيلَ: انْقَضَتْ، تَمَادَتْ يُصْبِحُ الرَّجُلُ فِيهَا مُؤْمِنًا، وَيُمْسِي كَافِرًا، حَتَّى يَصِيرَ النَّاسُ إِلَى فُسْطَاطَيْنِ، فُسْطَاطِ إِيمَانٍ لَا نِفَاقَ فِيهِ وَفُسْطَاطِ نِفَاقٍ لَا إِيمَانَ فِيهِ، فَإِذَا كَانَ ذَاكُمْ فَانْتَظِرُوا الدَّجَّالَ، مِنْ يَوْمِهِ، أَوْ مِنْ غَدِهِ. رَوَاهُ أَبُو دَاوُد.

Abdulloh bin Umar berkata: Dahulu kami duduk di sisi Rasululloh. Lalu Rasululloh صلى الله عليه وسلم menyebutkan fitnah-fitnah, Rasululloh memperbanyak penyebutan fitnah-fitnah sampai Rasululloh menyebut fitnah ahlas. Lalu seseorang bertanya, “Wahai Rasululloh, apa itu fitnah ahlas? Rasululloh menjawab, “Ia adlh lari dan perampokan. Lalu fitnah kesenangan, provokatornya dari bawah kedua kaki seorang lelaki dari keluargaku yang ia menyangka bahwa ia dariku, padahal ia bukan dariku. Sesungguhnya para waliku adlh orang-orang yang bertakwa. Lalu manusia berdamai pada seorang lelaki seperti tulang pinggang di atas tulang rusuk. Lalu fitnah duhaima’ yang tidak meninggalkan seorang pun dari umat ini kecuali benar-benar menamparnya. Bila ada yang berkata, ‘Fitnah tersebut tlh berakhir.’ Fitnah tersebut terus-menerus ada. Seorang lelaki di waktu pagi dalam keadaan mukmin dan di waktu sore dalam keadaan kafir. Sampai manusia menjadi dua kelompok, kelompok keimanan yang tidak ada kemunafikan padanya dan kelompok kemunafikan yang tidak ada keimanan padanya. Bila demikian, maka tunggulh Dajjal, pada hari tersebut atau besoknya. (HR. Abu Dawud). Hadis ini dishahihkan oleh Syaikh al-Albani.

Ahlas adlh kain tipis yang diletakkan di bawah bardza’ah (kain yang diletakkan di atas punggung keledai atau bighal untuk ditunggangi)

Dalam Mirqátul Mafátíh Syarh Misykátil Mashábíh disebutkan:

“Dahulu kami duduk di sisi Rasululloh. Lalu Rasululloh صلى الله عليه وسلم menyebutkan fitnah-fitnah,” yaitu yang terjadi di akhir zaman.
“Rasululloh memperbanyak,” yaitu penjelasan.

“Penyebutan fitnah-fitnah sampai Rasululloh menyebut fitnah ahlas. Lalu seseorang bertanya, ‘Wahai Rasululloh, apa itu fitnah ahlas?’ Rasululloh menjawab, ‘Ia adlh lari,’” yaitu sebagian mereka lari dari sebagian yang lain krn di antara mereka ada pemusuhan dan perang.

“Dan perampokan,” yaitu mengambil harta dan keluarga dengan tanpa hak.

“Lalu fitnah kesenangan,” yang dimaksudkan fitnah kesenangan adlh kenikmatan yang menyenangkan manusia, berupa kesehatan, kelapangan, keselamatan dari musibah dan wabah penyakit. Fitnah tersebut disandarkan kepada kesenangan krn hal tersebut menjadi sebab terjatuhnya dalam kemaksiatan-kemaksiatan, sebab banyaknya kenikmatan atau krn fitnah tersebut menyenangkan musuh.

At-Turibisyty رَحِمَهُ اللَّهُ berkata: Kemungkinan sebab terjatuhnya manusia dalam fitnah tersebut dan diujinya mereka dengannya adlh efek dari kenikmatan tersebut. Fitnah tersebut disandarkan kepada kesenangan, yaitu disusunnya kalimat dari sisi disandarkannya sesuatu kepada sebabnya. Kemungkinan kesenangan tersebut sebagai sifat bagi fitnah, sehingga fitnah disandarkan kepada kesenangan sebagaimana disandarkannya masjid kepada al-Jami’ (masjid al-Jámi’). Maksudnya fitnah tersebut sangat luas krn banyaknya keburukan dan kerusakannya. Di antaranya semisal perkataan mereka, “قَفَاهُ سَرَّاءُ إِذَا كَانَتْ وَسِيعَةً ‘Bagian belakang kepalanya adlh kebahagiaan bila bagian belakang kepala tersebut luas.’”

Maknanya, fitnah peristiwa yang menyenangkan, yaitu sangat luas yang mencakup semua orang, baik orang khusus atau orang umum.


“Provokatornya,” yaitu pendorong dan pembangkitnya. Rasululloh menyerupakannya dengan asap yang naik. Sebagaimana Rasululloh menyerupakan perang dengan api.

Rasululloh mengatakan “dari bawah kedua kaki seorang lelaki dari keluargaku,” sebagai peringatan bahwa ia yang berusaha dalam mendorong fitnah tersebut atau ia yang memiliki perkara fitnah tersebut.

“Yang ia menyangka bahwa ia dariku,” yaitu dalam perbuatan, walaupun ia dariku secara nasab. Kesimpulannya fitnah tersebut disebabkan krnnya dan ia yang mendorong untuk terjadinya fitnah tersebut.

“Padahal ia bukan dariku,” yaitu dari para kekasihku atau dari keluargaku dalam perbuatan. Krn seandainya ia dari keluargaku, ia tidak akan mendorong fitnah. Semisal hal tersebut, firmah Alloh تَعَالَى:
إِنَّهُ لَيْسَ مِنْ أَهْلِكَ إِنَّهُ عَمَلٌ غَيْرُ صَالِحٍ
“Sesungguhnya dia bukanlah termasuk keluargamu, sesungguhnya (perbuatan)nya perbuatan yang tidak baik.” (QS. Húd: 46)
Atau bukan termasuk para waliku yang sebenarnya. Menguatkan hal tersebut sabda Nabi, “Sesungguhnya para waliku adlh orang-orang yang bertakwa.” Hadis ini lebih mengena daripada hadis “Keluarga Muhammad adlh setiap orang yang bertakwa.”

“Lalu manusia berdamai pada seorang lelaki,”  yaitu mereka berkumpul di atas membaiat seorang lelaki.

“Seperti tulang pinggang di atas tulang rusuk,” ini permisalan. Maksudnya,  ia tidak di atas kekukuhan. Krn tulang pinggang sebab beratnya tidak kukuh / mantap di atas tulang rusuk, krn kecilnya (tulang rusuk). Maknanya, ia tidak pantas menjadi pemimpin sebab kurangnya ilmunya, kecerdasannya, dan kelembutannya.

Dalam an-Niháyah: Yaitu mereka berdamai pada seorang lelaki yang tidak memiliki keteraturan dan tidak lurus perkaranya. Krn tulang pinggang tidak akan tegak di atas tulang rusuk dan tidak akan tersusun dengannya krn perbedaan dan jauhnya antara keduanya.

Dalam Syarh as-Sunnah: Maknanya bahwa perkara tersebut tidak tetap /kukuh dan tidak lurus. Yang demikian krn tulang rusuk tidak tegak dengan tulang pinggang dan tidak bisa memikulnya. Kesimpulannya ia tidak siap dan tidak  bisa memimpin. Sehingga perkaranya tidak terlaksana sebagaimana seharusnya, sebagaimana tulang pinggang di atas tulang rusak, tidak tersusun sebagaimana seharusnya.
Ia berkata: Ini dikatakan dalam bab kesesuaian dan kecocokan, bila mereka menyifatinya, ia semisal telapak tangan di lengan, lengan di hasta, dan semisalnya. Rasululloh menginginkan bahwa lelaki ini tidak pantas menjadi penguasa dan tidak merdeka dengan kekuasannya.

“Lalu fitnah duhaima’,” asalnya dari kata dahmá’ (hitam) dan ditashghír sebagai celaan. Yaitu fitnah besar dan global yang membutakan.

Dalam an-Niháyah: Ia adlh tashghír kata dahmá’ yang Rasululloh menginginkan (makna) fitnah yang gelap. Tashghír tersebut untuk pengagungan. Ada yang berpendapet: Yang dimaksudkan dengan duhaimá’ adlh dáhiyah (kemungkaran/perkara besar). Di antara nama dáhiyah adlh duhaim. Mereka menyangka bahwa duhaim adlh nama unta yang tujuh orang saudara berperang di atasnya secara bergantian. Mereka semua terbunuh (di peperangan). Lalu mereka semua di bawa di atas unta tersebut sampai unta tersebut pulang bersama (mayat) mereka semua. Sehingga unta ini (duhaim) menjadi matsal pada setiap perkara besar.

“Yang tidak meninggalkan,” meninggalkan fitnah tersebut.

“Seorang pun dari umat ini kecuali benar-benar menamparnya,” yaitu fitnah tersebut mengenainya dan mengujinya. Asal kata al-lathm adlh memukul wajah dengan telapak tangan bagian dalam. Maksudnya pengaruh fitnah tersebut mencakup semua orang dan setiap orang terkena kemudharatannya.

Ath-Thibi رَحِمَهُ اللَّهُ berkata: Ini adlh isti’ároh makniyah yang Rasululloh menyerupakan fitnah dengan seorang manusia. Lalu dikhayalkan fitnah tersebut mengenai semua orang. Penamparan yang ia merupakan kelaziman musyabbah bihi (yang diserupakan dengannya), Rasululloh menjadikannya sebagai indikator terhadap fitnah tersebut.

“Bila ada yang berkata, ‘Fitnah tersebut tlh berakhir.’” Yaitu mereka menyangka bahwa fitnah tersebut tlh berakhir.

“Fitnah tersebut terus-menerus ada,” yaitu mencapai puncak keterusan. Yaitu fitnah tersebut memanjang, terus-menerus, dan tetap.


“Seorang lelaki di waktu pagi dalam keadaan mukmin,” yaitu mengharamkan darah saudaranya, kehormatannya, dan hartanya.

“Dan di waktu sore dalam keadaan kafir,” yaitu ia menghalalkan apa yang disebutkan tersebut (darah, kehormatan, dan harta saudaranya).

Hal tersebut terus-menerus “Sampai manusia menjadi dua kelompok,” yaitu dua kelompok. Ada yang berkata dua kota. Asal kata fustháth adlh tenda. Ini termasuk bab penyebutan tempat dan diinginkan kondisinya.

“Kelompok keimanan,” yaitu iman yang murni.

“Yang tidak ada kemunafikan padanya,” yaitu tidak pada pokok keimanan dan tidak pula pada perinciannya dari keyakinan dan amalannya.

“Dan kota kemunafikan yang tidak ada keimanan padanya,” yaitu pokok keimanan atau kesempurnaan keimanan, krn padanya terdapet amal kaum munafik dari bohong, khianat, pembatalan perjanjian, dan semisalnya.

“Bila demikian, maka tunggulh Dajjal,” yaitu kemunculannya.

“Pada hari tersebut atau besoknya,” ini menguatkan bahwa yang dimaksudkan dengan fustháthain adlh dua kota. Sesungguhnya al-Mahdi berada di Baitul Maqdis, lalu ia dikepung oleh Dajjal. Lalu Isa عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ turun, sehingga yang terlaknat tersebut (Dajjal) meleleh semisal garam yang mencair pada air. Lalu Isa menusuknya dengan belati, sehingga ia membunuhnya. Sehingga diperoleh kelapangan umum dan kelapangan yang sempurna. Sebagaimana sabda pemimpin manusia:
اشْتَدِّي أَزْمَةُ تَنْفَرِجِي
“Keraslh wahai musibah, maka kamu akan berakhir.”
Sungguh Alloh تَعَالَى berfirman:
فَإِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْرًا . إِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْرًا
“Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan. Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan.” (QS. Asy-Syarh: 6)
Dan satu kesulitan tidak akan mengalahkan dua kemudahan. Keduanya di sini adlh keterikatan antara matahari dan bulan dan sinar keduanya yang menyinari siang dan malam.

Ath-Thibi رَحِمَهُ اللَّهُ berkata, “Fusthath adlh kota yang manusia berkumpul padanya. Setiap kota adlh fusthath. Disandarkannya fusthath kepada iman, mungkin dengan menjadikan kaum mukminin sebagai iman itu sendiri secara mubalaghah (berlebihan) dan mungkin dengan menjadikan fusthtath sebagai musta’ar untuk pundak dan penjagaan secara gamblang. Yaitu mereka di pundak keimanan dan penjagaannya.

🏻 Rohmatulloh Ngimaduddin, Lc
      


📱 Grup whatsapp "بيان الحق", Gabung: 085741351620

Tidak ada komentar:

Posting Komentar