(Harta Haram Hasil Muamalat yang Tidak Saling
Ridha dan Diketahui Keberadaan Rekan Transaksinya)
Barang/uang ini yang didapet dengan muamalat tanpa saling
ridha, wajib dikembalikan jika diketahui pemiliknya dan masih ada zatnya serta
blm terjadi perubahan pada bntuk fisiknya.
Bila barang/uang tersebut lenyap sama sekali, maka untuk
kesepurnaan taubat, dia harus menggantinya atau meminta pemilik hak
merelakannya.
Bila terjadi perubahan pada barang, maka perubahan itu
berbagai bntuk:
-
Perubahan yang
menyebabkan nilai barang menjadi berkurang. Pada kondisi ini, orang yang
berbuat dosa tadi hendaknya menyerahkan barang yang tlh berubah serta
memberikan ganti rugi atas kekurangan nilai barang.
-
Perubahan yang
menyebabkan nilai barang menjadi bertambah, spt kambing menjadi lebih gemuk
atau beranak.
Pada kondisi ini, para ulama berbeda
pendapet.
Pendapet awal: Ulama madzhab Syafi’i berpendapet bahwa
barang tersebut hendaknya dikembalikan semuanya kepada pemilik awal dan orang
yang tlh mengembangkannya tidak mendapet imbalan apa pun. Pendapet ini
berdasarkan sabda Nabi صلى الله
عليه وسلم:
وليس لعرقٍ ظالمٍ فيه حق
“Orang yg tlh berbuat kezhaliman (dengan
mendapet barang dengan tanpa keridhaan pihak kedua) keringatnya (usahanya
mengembangkan barang tersebut) sama sekali tidak memiliki nilai yang patut
dibayar.” (HR. Muslim)
(Menerjemahkan ‘irq dengan keringat, kurang tepat. Untuk
lebih jelasnya lihat terjemahan saya terhadap syarh hadis ini: Hadis “Tidak Ada
Hak Bagi Akar Pohon yang Zhalim.” –Rohmatulloh)
Pendapet kedua: Menurut sebuah pendapet dalam madzhab
hanbali bahwa nilai tambah dari barang tersebut adlh milik kedua belah pihak
yang harus dibagi rata. Pendapet ini lebih adil.
Bila terjadi perubahan pada uang, maka perubahan tersebut
ada dua macam:
-
Jumlah uangnya
berkurang, maka ia wajib menambahnya atau meminta keikhlasan pihak yang
dirugikan.
-
Jumlah uangnya
bertambah, disebabkan pemilik yang tidak sah ini mengembangkannya dalam bentuk
usahanya, semisal seorang koruptor menginvestasikan uang hasil korupsinya dan
mendapet laba yang banyak. Pada saat dia bertaubat, apakah modal dan keuntungan
semuanya diserahkan kepada pemilik modal yang sah?
Para ulama berbeda pendapet dalam hal
ini.
Pendapet awal: Madzhab Syafi’i dan
Hanbali berpendapet modal dan keuntungannya seluruhnya dikembalikan kepada
pemilik yang sah. Pendapet ini berdasarkan sabda Nabi صلى الله عليه وسلم:
وليس لعرقٍ ظالمٍ فيه حق
“Orang yg tlh berbuat kezhaliman (dengan
mendapet barang dengan tanpa keridhaan pihak kedua) keringatnya (usahanya
mengembangkan barang tersebut) sama sekali tidak memiliki nilai yang patut
dibayar.” (HR. Muslim)
Dan juga diriwayatkan dari Ibnu Umar رضي الله عنهما , ia berkata:
Aku mendengar Rasululloh صلى الله
عليه وسلم, “Dahulu
ada tiga orang pergi ke suatu tempat hingga mereka masuk ke dalam gua,
tiba-tiba sebuah batu besar jatuh dari gunung dan menutup mulut gua.
Mereka
berkata, ‘Sesungguhnya kita tidak akan bisa lolos dari batu tersebut, melainkan
dengan kita berdoa kepada Alloh dengan perantara amal shalih yang pernah kita
lakukan.’
Seorang
lelaki di antara mereka berkata…
Orang
ketiga berdoa, ‘Ya Alloh, aku pernah mempunyai beberapa orang buruh, semuanya
kuberi upah kecuali satu orang, ia tidak mengambil upah tersebut lalu pergi
begitu saja. Kemudian uang upahnya aku kembangkan sehingga menjadi banyak.
Suatu saat dia datang kepadaku, lalu berkata, Hai hamba Alloh, berikan upahku!’
Aku
berkata, ‘Seluruh yang engkau lihat di padang itu adlh upahmu, (terdiri dari
unta, sapi, kambing, dan para budak).’
Ia
berkata, ‘Hai hamba Alloh, jangan engkau permainkan aku.’
Aku
berkata, ‘Aku tidak main-main.’
Lalu
ia mengambil seluruh harta tersebut dan tidak ada satu pun yang ia sisakan. Ya
Alloh, bila aku melakukan hal tersebut ikhlas krn mengharap Wajah-Mu selamatkan
kami dari batu ini.’
Maka
mulut gua terbuka dan mereka keluar meninggalkan gua.” (HR. Bukhari dan
Muslim).
Dan
juga dalam kasus yang diriwayatkan oleh Bukhari bahwa Rasululloh memberi uang
satu dinar kepada Urwah agar ia membelikan seekor kambing untuk Nabi صلى الله عليه وسلم.
Maka
ia mendatangi para pedagang yang membawa kambing untuk dijual di pasar. Ia
menawarkannya dan mendapetkan dua ekor kambing seharga satu dinar. Dalam
perjalanan menuju Rasululloh صلى الله عليه وسلم ada
seorang yang menawar seekor kambing yang dibawa Urwah seharga satu dinar, maka
ia pun menjualnya. Sesampainya di hadapan Rasululloh صلى الله عليه وسلم, Urwah memberikan kepada Rasululloh صلى الله عليه وسلم satu dinar ditambah seekor kambing.
Dalam
kisah di atas modal dan keuntungan dikembalikan kepada pemilik uang yang sah.
Pendapet
kedua: Sebagian ulama berpendapet bahwa modal dikembalikan kepada pemilik yang
sah dan pengembang. Pendapet ini didukung oleh Ibnu Taimiyah dan Ibnul Qayyim.
Pendapet
ini berdalil dengan kisah mudharabah antara Ibnu Umar رضي الله عنهما dengan modal
harta Negara yang dititipkan oleh Abu Musa al-Asy’ari رضي الله عنه.
Imam Malik meriwayatkan bahwa Abdulloh
dan Ubaidulloh anak Umar bin Khathab رضي الله عنهم ikut dalam
pasukan yang diutus ke Irak.
Sblm kembali ke Madinah mereka mampir ke
kota Bashrah menemui Abu Musa al-Asy’ari, gubernur kota. Abu Musa menitipkan
kepada keduanya sejumlah uang Negara yang hendak dikirimkan ke Khalifah Umar
bin Khathab, dengan berkata, “Uang ini saya pinjamkan kepada kalian berdua,
lalu kalian beli barang perniagaan dari Irak dan kalian jual di Madinah. Stlh
itu kalian serahkan kepada Khalifah uang Negara dan labanya adlh milik kalian.”
Dua orang sahabat Nabi صلى الله عليه وسلم ini dan sekaligus anak Khalifah menyetujuinya.
Seampainya
di Madinah, mereka menjual barang perniagaan dan memperoleh keuntungan. Lalu
menyerahkan surat dari gubernur Bashrah kepada Umar, yang berisi bahwa ia
menitipkan uang Negara melalui Abdulloh dan Ubaidulloh, serta mengizinkan
mereka memperdagangkannya.
Umar
bertanya kepada kedua anaknya, “Apakah seluruh tentara yang ikut dalam
perjalanan tersebut mendapet pinjaman yang sama?”
Mereka
menjawab, “Tidak.”
Umar
berkata, “Krn kalian anak Khalifah, maka dia memberikan kalian pinjaman modal!
Serahkan modal dan labanya ke Baitul Mál (Kas Negara)!”
Abdulloh
diam, tidak menjawab. Adapun Ubaidulloh memberanikan diri untuk menyanggah,
“Wahai Amirul Mukminin, tidak pantas engkau lakukan itu! Krn bila perniagaan
kami rugi, kami tetap mengganti harta Negara!”
Seseorang
yang hadir dalam majlis berkata, “Wahai Amirul Mukminin, buatlh akadnya menjadi
mudharabah.”
Umar
menyetujuinya. Maka Modal dan ½ laba diambil Umar dan diberikan ke Baitul Mál,
sedangkan ½ laba bagi hasil untuk Abdulloh dan Ubaidulloh. (Muwaththa’). (Ibnu
Hajar berkata, “Sanad atsar ini shahih.”)
Dari
atsar ini dapet diambil hukum bahwa keuntungan dari usaha yang modalnya berasal
dari harta milik orang lain merupakan milik bersama antara pemilik modal yang
sah dan pengembang modal yang keberadaan modal di tangannya tidak sah.
Wallohu
a’lam, dari satu sisi pendapet ini lebih adil.
Sumber:
Harta Haram Muamalat Kontemporer karya Dr. Erwandi Tarmizi, MA
✍🏻 Rohmatulloh Ngimaduddin, Lc
…
📱
Grup whatsapp "بيان الحق", Gabung:
085741351620
Tidak ada komentar:
Posting Komentar