Senin, 24 Juli 2017

Talak Hak Suami





عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ، قَالَ: أَتَى النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَجُلٌ، فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، إِنَّ سَيِّدِي زَوَّجَنِي أَمَتَهُ، وَهُوَ يُرِيدُ أَنْ يُفَرِّقَ بَيْنِي وَبَيْنَهَا، قَالَ: فَصَعِدَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمِنْبَرَ، فَقَالَ: «يَا أَيُّهَا النَّاسُ، مَا بَالُ أَحَدِكُمْ يُزَوِّجُ عَبْدَهُ أَمَتَهُ، ثُمَّ يُرِيدُ أَنْ يُفَرِّقَ بَيْنَهُمَا، إِنَّمَا الطَّلَاقُ لِمَنْ أَخَذَ بِالسَّاقِ

Dari Ibnu Abbas berkata: Seorang lelaki datang kepada Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ, lalu berkata, “Wahai Rasululloh, sesungguhnya tuanku tlh menikahkanku dengan budak perempuannya, lalu ia ingin menceraikan antara aku dan budak perempuan tersebut (istrinya). Ibnu Abbas berkata: Lalu Rasululloh صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ naik mimbar dan berkata, “Wahai manusia, kenapa seseorang di antara kalian yang menikahkan budak lelakinya dengan budak perempuannya, lalu ia ingin menceraikan antara keduanya? Sesungguhnya talak adlh milik orang yang mengambil betis (wanita).” (HR. Ibnu Majah). Syaikh al-Albani menghasankan hadis ini.

Dalam riwayat lain, Rasululloh صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ bersabda:
الطَّلاَقُ بِيَدِ مَنْ أَخَذَ بِالسَّاقِ
“Talak di tangan orang yang mengambil betis.” (Shahíh al-Jámi’)

Muhammad Fuad Abdul Baqi berkata akan syarh hadis ‘Sesungguhnya talak adlh milik orang yang mengambil betis (wanita),’ yaitu talak adlh hak suami yang ia mengambil betis wanita, bukan hak tuannya.

Munawi berkata dalam Faidh al-Qadír Syarh al-Jámi’ ash-Shaghír:

“Talak,” yang aku mendapatinya dalam manuskrip ath-Thabrany: Wahai manusia, sesungguhnya talak “di tangan orang yang mengambil betis.” Yaitu suami, walaupun ia seorang budak. Bila seorang tuan mengizinkan budak lelakinya untuk menikah, maka talaknya di tangan budak yang mengambil betis tersebut, bukan di tangan tuannya. Tuannya tidak memiliki hak untuk memaksa budaknya untuk mentalak istrinya. Krn izin untuk menikah adlh izin untuk semua hukum-hukum dan keterkaitan-keterkaitan nikah.

Ini pendapet yang diambil oleh Syafi’i dan Ahmad yang terbangun di atas bahwa seorang tuan tidak memiliki hak untuk memaksa budak lelakinya untuk menikah. Sedangkan Abu Hanifah dan Malik berpendapet bahwa seorang tuan memiliki hak untuk memaksa budaknya (menikah). Bila ia boleh memasukkannya ke dalam nikah secara paksa, maka ia boleh mengeluarkannya dari nikah secara paksa.

Ath-Thabrany mengeluarkan dari Ibnu Juraij yang berkata: Sampai kepada Ibnu Abbas bahwa Ibnu Mas’ud berkata, “Bila ia mentalak selama ia belum menikah maka boleh.” Lalu Ibnu Abbas berkata, “Ia (Ibnu Mas’ud) salah dalam hal ini. Sesungguhnya Alloh تعالى berfiman:
إذا نكحتم المؤمنات ثم طلقتموهن من قبل أن تمسوهن
‘Hai orang-orang yang beriman, bila kamu menikahi perempuan-perempuan yang beriman, kemudian kamu ceraikan mereka sebelum kamu mencampurinya.’ (QS. Al-Ahzáb: 49). Alloh tidak berkata, ‘Bila kamu mentalak perempuan-perempuan yang beriman, lalu kalian menikahi mereka.’”

Talak menurut bahasa berasal dari kata al-ithláq, yaitu melepas. Sedangkan menurut syariat: Melepas akad pernikahan. Ini sesuai dengan sebagian makna lughawinya.

Imam al-Haromain berkata: Talak adlh lafazh jahiliyah yang syariat datang dengan menetapkannya.

“Betis,” dalam al-Mishbáh dikatakan, “Termasuk anggota badan wanita yang terletak di antara lutut dan telapak kaki.”

🏻 Rohmatulloh Ngimaduddin, Lc
      


📱 Grup whatsapp "بيان الحق", Gabung: 085741351620

Tidak ada komentar:

Posting Komentar