Jumat, 14 Juli 2017

Hadis “Tidak Ada Hak Bagi Akar Pohon yang Zhalim”





قال رجل من أصحاب رسول الله صلى الله عليه وسلم: إن رجلين اختصما إلى رسول الله صلى الله عليه وسلم في أرض، غرس أحدهما فيها نخلاً، والأرض للآخر، فقضى رسول الله صلى الله عليه وسلم بالأرض لصاحبها، وأمر صاحب النخل أن يخرج نخله. وقال: ليس لعرقٍ ظالم حق. رواه أبو داود، وإسناده حسن.

Seorang lelaki dari para sahabat Rasululloh صلى الله عليه وسلم berkata, “Sesungguhnya dua orang lelaki bermusuhan di hadapan Rasululloh صلى الله عليه وسلم pada perkara tanah. Salah seorang dari keduanya menanam pohon kurma pada tanah tersebut, padahal tanah tersebut milik yang lain. Maka Rasululloh صلى الله عليه وسلم memutuskan bahwa tanah tersebut milik pemilik tanah dan memerintahkan pemilik pohon untuk mengeluarkan pohon kurmanya. Rasululloh صلى الله عليه وسلم berkata, ‘Tidak ada hak bagi akar pohon yang zhalim.’” HR. Abu Dawud dengan sanad hasan.

Dalam al-Wajíz fi Ídháh Qawá’id al-Fiqh al-Kulliyah disebutkan:
Makna hadis menurut bahasa:
Al-‘Irq adlh satu dari akar-akar pohon. Maksudnya adlh pohon itu sendiri. Ini dihilangkan mudhafnya, yaitu bagi orang yang memiliki akar pohon yang zhalim dan akar pohon itu yang dijadikan zhalim. Al-Haq milik pemiliknya.
Disifatinya akar pohon dengan kezhaliman adlh majaz. Maksudnya kezhaliman pemilik akar pohon tersebut.

Makna hadis menurut syar’i:
Sesungguhnya kezhaliman tidak menghasilkan hak bagi pelaku kezhaliman.
Makna akar pohon yang zhalim: Seorang lelaki datang ke tanah yang tlh dihidupkan (dikuasai / dimiliki) seseorang sblm dirinya, lalu ia (orang kedua) menanam tanaman pada tanah tersebut secara ghashab (merampas) atau melakukan sesuatu pada tanah tersebut agar ia menjadi pemilik tanah tersebut. Sesungguhnya ia menjadi orang zhalim krn ia menanam di tanah yang ia tahu bahwa tanah tersebut milik orang. Sehingga dengan perbuatannya ini ia menjadi orang yang zhalim, perampas. Hukumnya ia wajib mencabut apa yang ia tanam atau menghancurkan apa yang ia bangun. Akan tetapi seandainya pemilik tanah ridha dengan tetapnya tanaman atau bangunan tersebut dan ia membayar harga tanaman atau bangunan tersebut maka tidak mengapa.

Syaikh Utsaimin berkata dalam Fath Dzil Jalál wal Ikrám bi Syarh Bulúgh al-Marám:

Ini padanya terdapet ghashab ‘perampasan.’ Perawi berkata, “Seorang lelaki dari para sahabat Rasululloh صلى الله عليه وسلم.” Ini padanya terdapet problem dari sisi bahwa perawi ini tidak diketahui orangnya. Tlh diketahui bahwa tidak diketahui siapa perawi hadis mewajibkan celaan terhadap hadis tersebut. Sesungguhnya sebab-sebab celaan sebagaimana dalam Nukhbah al-Fikr ada sepuluh. Di antaranya tidak diketahuinya siapa perawi hadis. Sehingga hadis ini dha’if krn tidak diketahuinya siapa perawinya?

Jawabnya kami katakan: Sesungguhnya tidak diketahuinya siapa sahabat tersebut tidak memudharatkan, krn semua para sahabat adlh orang-orang adil. Asal ilat dengan tidak diketahuinya siapa perawi hadis krn kita tidak mengetahui keadilannya. Bila para sahabat  رضي الله عنهم, semuanya adlh orang-orang adil maka tidak memudharatkan tidak diketahuinya siapa sahabat yang meriwayatkan hadis tersebut.

Bila seseorang berkata, “Perkataanmu, ‘Sesungguhnya para sahabat, semuanya adlh orang-orang adil dibatalkan dengan al-Qurán, krn Alloh berfirman:
والذين يرمون أزواجهم ولم يكن له شهداء ...
“Dan orang-orang yang menuduh isterinya (berzina), padahal mereka tidak ada mempunyai saksi-saksi…” (QS. An-Núr: 6)
Sungguh tlh terjadi kisah ini pada sahabat. Hilal bin Umayah menuduh istrinya berzina  dengan Syarik bin Sahma’. Keduanya adlh para sahabat. Alloh berfirman:
يأيها الذين ءامنوا إن جاءكم فاسق بنبإ فتبينوا
“Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti.” (QS. Al-Hujarát: 6)
Ayat ini menetapkan akan kefasikan orang yang datang dengan berita tersebut. Lalu bagaimana kamu mengatakan bahwa hukum asalnya para sahabat adlh orang-orang yang adil dan tidak diketahuinya siapa sahabat tersebut tidak memudharatkan?”

Jawaban akan hal tersebut, kami katakan: Ini adlh peristiwa khusus yang terbatas dengan bilangan orang yang sedikit yang tidak menghalangi dari hukum secara umum akan keadilan seluruh sahabat. Krn hukum asalnya adlh adil. Lalu peristiwa yang terjadi ini, bila terjadi pada seseorang tertentu tidak mengharuskan celaan pada semua sahabat. Lalu bila peristiwa ini terjadi pada seorang sahabat tersebut, ia memiliki keutamaan; (di antaranya) termasuk sahabat Nabi, terdahulu masuk Islam, turut perang bersama Nabi, dan selain itu dari keutamaan-keutamaan, sesuatu yang menafikan celaan pada para sahabat رضي الله عنهم. Krnnya tidak diketahuinya siapa sahabat yang meriwayatkan hadis tersebut tidak memudharatkan, walaupun terjadi pada sebagian sahabat apa yang tlh terjadi. Ini sedikit, jarang terjadi, baik pada perbuatan (maksiat) tersebut dan demikian pula pada bilangan sahabatnya (yang mengerjakan maksiat tersebut) yang tertutupi dengan sisi keutamaan-keutamaan mereka yang besar dan banyak.
“Dua orang lelaki bermusuhan,” dan “dua orang lelaki” tidak jelas (siapa keduanya). Ini mengharuskan celaan pada hadis tersebut atau tidak?
Ini tidak mengharuskan celaan secara mutlak. Krn diketahuinya siapa pelaku peristiwa tersebut bukan syarat keshahihan hadis.

“Sesungguhnya dua orang lelaki bermusuhan (sampai) di hadapan Rasululloh صلى الله عليه وسلم,” huruf إلى  di sini menunjukkan gháyah wal intihá’ (tujuan maksimal dan akhir). Yaitu permusuhan keduanya sampai kepada Rasululloh صلى الله عليه وسلم.

Makna اختصما  “Keduanya bermusuhan” yaitu setiap salah satu dari keduanya berusaha memenangkan hujah (yaitu permusuhan di hadapan hakim, -penerj.). Asal masalah yang menjadi sebab permusuhan mereka adlh tanah milik salah satu dari keduanya dan pohon kurma milik yang lainnya. Yaitu salah seorang dari keduanya menanam pohon kurma di tanah yang lainnya.

“Maka Rasululloh صلى الله عليه وسلم memutuskan bahwa tanah tersebut milik pemilik tanah.” “Memutuskan,” yaitu menetapkan hukum bahwa tanah tersebut milik pemilik tanah. Apakah pemilik pohon kurma, ia yang menanam pohon kurma? Apakah pemilik pohon kurma mengakui bahwa tanah tersebut bukan miliknya?
Ya, setiap salah seorang dari keduanya mengakui kepemilikan musuhnya. Pemilik kurma mengakui bahwa tanah tersebut bukan miliknya dan pemilik tanah mengakui bahwa pohon kurma tersebut bukan miliknya.

“Dan Rasululloh memerintahkan pemilik pohon untuk mengeluarkan pohon kurmanya.” Yaitu ia mencabutnya dari tanah tersebut dengan tujuan mengosongkan tanah tersebut  untuk pemilik tanah. Akan tetapi padanya terdapet menyia-nyiakan harta dan merusak harta, kenapa? Krn kemungkinan pohon kurma tersebut akan mati. Akan tetapi Rasululloh صلى الله عليه وسلم bersabda, ‘Tidak ada hak bagi akar pohon yang zhalim.’ Akar pohon tersebut adlh akar pohon kurma yang tidak memiliki hak, krn pohon kurma tersebut ditanam dengan tanpa keridhaan pemilik tanah.


Di antara fawaid hadis ini yang disebutkan oleh Syaikh Utsaimin:
Padanya terdapet dalil akan terjadinya permusuhan di antara para sahabat. Aspek argumentasinya bahwa Nabi صلى الله عليه وسلم menetapkan pemusuhan antara kedua sahabat tersebut dalam masalah ini. Padanya terdapet dalil bahwa permusuhan tidak menafikan keadilan. Seandainya pemusuhan menafikan keadilan maka pada permusuhan ini terdapet celaan pada kedua sahabat yang bermusuhan tersebut, kecuali bila permusuhan tersebut dalam kebatilan. Sesungguhnya Nabi صلى الله عليه وسلم bersabda:
من حلف على يمين هو فيها فاجر يقتطع بها مال امرئ مسلم لقي الله وهو عليه غضبان
“Siapa yang bersumpah dan ia fajir dalam sumpahnya untuk merampas harta seorang muslim dengan sumpahnya, maka ia berjumpa dengan Alloh dan Dia murka kepadanya.”

Di antara fawaid hadis: Siapa yang merampas tanah, lalu ia menanam padanya, maka diwajibkan baginya untuk mencabut pohon kurma tersebut. Akan tetapi padanya terdapet beberapa masalah:

Awal: Apakah boleh mewajibkannya untuk mencabut pohon kurma, walaupun pohon kurma tersebut termudharatkan? Ya, krn ia yang mendatangkan kemudharatan untuk dirinya.

Kedua: Seandainya ia mencabut pohon kurma tersebut dan tersisa bekasnya di tanah. Terdapet pada tanah tersebut lubang. Ini rendah dan ini menggunduk. Apakah pemilik pohon kurma menanggungnya? Jawabnya ya, krn ini akibat perbuatannya.

Ketiga: Seandainya pemilik tanah meminta untuk dibiarkan pohon kurma tersebut, lalu pohon kurma tersebut ditaksir harganya dan harganya dibayarkan kepada pemilik pohon kurma, namun pemilik pohon kurma menolaknya, apakah pemilik pohon kurma diwajibkan untuk membiarkan pohon kurma tersebut dan pemilik tanah memberinya harga pohon kurma?
Madzhab (Hanabilah) tidak wajib, krn pohon kurma tersebut miliknya. Akan tetapi sepantasnya untuk dikatakan: Bila dalam pencabutannya terdapet manfaat, tidak wajib (untuk menerima harga pohon tersebut). Bila dalam pencabutannya tidak terdapet manfaat, wajib (untuk menerima harga pohon kurma tersebut). Krn bila dalam pencabutannya tidak terdapet manfaat, akan diperoleh mafsadat dalam pencabutan tersebut. Yaitu menyia-nyiakan harta pohon kurma dan menghilangkan manfaat tanah bagi pemilik tanah. Krn pemilik tanah, bila menanam dari sekarang maka ia akan menunggu bertahun-tahun untuk memetik hasilnya. Adapun bila pohon kurma tersebut tetap berdiri maka ia bisa mengambil manfaatnya dari sekarang. Bila kita mengetahui bahwa pemilik pohon kurma tidak memiliki tujuan yang benar dalam meminta pencabutan pohonnya maka kita melarangnya untuk mencabut pohon kurma tersebut.

Kami katakan: Hadis ini menunjukkan bahwa tanaman tersebut menjadi milik pemilik tanah dan wajib bagi pemilik tanah mengganti nafkahnya.
Kami katakan: Bila nafkah tersebut lebih banyak dari harga tanaman dengan perampas tanah ini menafkahkan untuk tanaman ini dengan menanam, menyirami, dan menebar benihnya mencapai biaya sepuluh ribu real dan harga tanaman tersebut di pasar hanya lima ribu real, apakah wajib bagi pemilik tanah untuk mengambil tanaman tersebut dengan nafkah (biaya yang dikeluarkan) oleh perampas tanah tersebut?

Jawabnya tidak, krn ia tidak diizinkan menanam tanaman ini, sehingga kami katakan, “Ini perintah Alloh. Datang kerugian tersebut dari sisi Alloh.” Kita katakan: Tidak wajib bagi pemilik tanah untuk mengambil tanaman tersebut dan tanaman tersebut milik perampas tanah. Tersisa pembahasan, pembiaran tanah selama adanya tanaman tersebut, apakah pemilik tanah menuntut sewa, bagian berupa sewa semisal, atau bagian semisal?

Sewa semisal, dikatakan: Seandainya kamu menyewa tanah untuk bercocok tanam. Lalu ia berkata, “Tanah tersebut disewa seharga seribu real.” Bagian semisal, mereka berkata: Seandainya kamu menanam, maka pemilik tanah berhak dapet bagian seperlima. Kadang pemilik tanah memilih bagian yang paling banyak (di antara pilihan tersebut). Akan  tetapi kami ingin menetapkan hukum syar’i, apakah yang paling dekat, bagiannya berupa saham (bagian bagi hasil) atau sewa?
Kami katakan: hal tersebut dikembalikan kepada urf (adat) manusia di tempat tersebut. Bila adat manusia, mereka menyewakan tanah-tanah mereka kepada para petani maka kita mengambil sewa semisal. Bila adat mereka, mereka memberikan tanah-tanah mereka dengan bagian hasil tanaman, kita mengambil bagian hasil tanaman. Masalah ini, bila aku tlh menyampaikannya maka pendapet ini sebagai penguat, bukan dasar pendapet. Bila aku belum menyampaikannya maka ini adlh dasar pendapet.

Diambil manfaat dari hadis ini: Akar pohon yang tidak zhalim, ia memiliki hak. Misalnya: Aku menyewa tanah darimu untuk aku menanam pohon padanya selama sepuluh tahun. Tatkala waktu sewa berakhir, pohon tersebut masih tetap ada. Apakah pemilik tanah menuntutku untuk aku mencabutnya dan merugikanku?
Kita katakan: Hadis ini menunjukkan bahwa akar pohon yang hak (tidak zhalim) maka pemiliknya memiliki hak. Ketika itu, kita tidak mewajibkanmu untuk mencabut pohon yang kamu tanam tersebut, akan tetapi pohon tersebut tetap milikmu untuk dibayar harganya. Dikatakan: Taksirlh harga tanah tanpa pohon tersebut dan taksirlh harga tanah dengan adanya pohon tersebut. Seandainya kita taksir tanah tersebut tanpa adanya pohon tersebut seharga seratus ribu dan kita taksir tanah tersebut dengan adanya pohon tersebut seharga seratus lima puluh ribu, maka harga pohon tersebut lima puluh ribu.

Kita katakan kepada pemilik tanah: Akar pohon ini bukan akar pohon yang zhalim, maka ia memiliki hak. Ketika itu, pohon tersebut tetap milikmu untuk dihargai sebanyak lima puluh ribu. Dalam misal yang kita sebutkan, bila pemilik pohon berkata, “Aku ingin mencabut pohonku.” Kita lihat, bila tujuannya untuk memudharatkan (pemilik tanah) maka kita melarangnya. Bila ia memiliki tujuan yang dikehendaki, kita menyetujuinya. Krn sekarang ia memiliki tujuan. Misalnya ia berkata, “Aku ingin mencabut pohon tersebut berserta akar-akarnya untuk aku tanam di tanahku, sehingga pohon tersebut bisa berbuah tahun ini.” Orang ini memiliki tujuan yang dikehendaki. Kita katakan: Kamu memiliki hak. Pohon tersebut adlh pohonmu. Bila ia berkata, “Aku akan mencabutnya, terus aku membuangnya. Aku ingin agar pemilik tanah menanam dari sekarang dan ia menunggu hasil (pohon sebesar ini) selama sepuluh tahun.” Apa yang kita katakan? Kita melarangnya, krn orang ini memudharatkan dirinya dan memudharatkan saudaranya. Nabi صلى الله عليه وسلم bersabda, “Tidak boleh memudharatkan diri sendiri dan tidak pula memudharatkan orang lain.” Sekarang kamu merusakkan pohon ini terhadap saudaramu dan kamu merugi lima puluh ribu pula.

Akhir sanadnya pada Ashhábus Sunan dari riwayat ‘Urwah dari Sa’id bin Zaid.
Diperselisihkan pada washl dan irsálnya serta pada penentuan kedua sahabat tersebut.
Adapun perselisihan pada penentuan kedua sahabat Nabi, hal tersebut tidak memudharatkan, krn para sahabat, semuanya adlh orang-orang yang adil. Adapun perselisihan pada washal dan irsál maka para para ulama hadis tlh berselisih, apakah ilat ini menjadi celaan terhadap hadis atau tidak? Yang benar, hal tersebut bukan celaan, bila wáshil (perawi yang menyambung hadis) seorang yang tsiqah. Krn bersama perawi wáshil ada tambahan ilmu dan tidak menafikan irsál. Seandainya washal menafikan irsál maka kita mencari perajihan. Akan tetapi ia tidak menafikan irsál. Krn seorang muhadits kadang menyambung hadis dan kadang memursalkannya. Bahkan kadang memarfu’kannya dan kadang memauqufkannya. Kadang ia meriwayatkannya dari Nabi صلى الله عليه وسلم dan kadang ia menceritakannya dari dirinya sendiri. Misalnya hadis Umar bin Khathab, “Sesungguhnya semua amal perbuatan (tergantung) dengan niat.” Kadang Umar menyandarkannya kepada Nabi صلى الله عليه وسلم dan kadang Umar berkata kepada seseorang dari manusia, “Sesungguhnya semua amal perbuatan (tergantung) dengan niat.” Lalu seorang perawi meriwayatkan dari Umar dengan redaksi kedua bahwa hadis tersebut mauqúf dan ia meriwayatkannya dengan redaksi awal bahwa hadis tersebut maushúl marfú’.

Kesimpulan: Bila diperselisihkan akan washal (sambungnya sanad) dan irsál, maka yang benar kita mengambil washal, selama wáshil (penyambung) seorang yang tsiqah. Yang demikian, krn tidak ada penafian antara washal dan irsál.

(Hadis mursal adlh hadis yang tidak disebutkan perawinya di akhir sanad, perawi stlh seorang tabi’in (sahabat Nabi) dan hadis muttashil / maushúl adlh hadis yang bersambung sanadnya, baik marfú’ atau mauqúf  atau hadis yang sanadnya sambung, setiap para perawinya mendengar dari perawi yang di atasnya sampai berakhir pada akhir sanad. –penerj.)

🏻 Rohmatulloh Ngimaduddin, Lc
      

════ ❁✿ 📓📓📓✿❁ ════

📱 Grup whatsapp "بيان الحق", Gabung: 085741351620

Tidak ada komentar:

Posting Komentar