قال رجل من أصحاب رسول الله صلى الله عليه
وسلم: إن رجلين اختصما إلى رسول الله صلى الله عليه وسلم في أرض، غرس أحدهما فيها
نخلاً، والأرض للآخر، فقضى رسول الله صلى الله عليه وسلم بالأرض لصاحبها، وأمر
صاحب النخل أن يخرج نخله. وقال: ليس لعرقٍ ظالم حق. رواه أبو داود، وإسناده حسن.
Seorang lelaki dari para
sahabat Rasululloh صلى الله عليه وسلم berkata, “Sesungguhnya dua orang lelaki
bermusuhan di hadapan Rasululloh صلى الله عليه وسلم pada perkara
tanah. Salah seorang dari keduanya menanam pohon kurma pada tanah tersebut,
padahal tanah tersebut milik yang lain. Maka Rasululloh صلى
الله عليه وسلم memutuskan bahwa tanah tersebut milik
pemilik tanah dan memerintahkan pemilik pohon untuk mengeluarkan pohon
kurmanya. Rasululloh صلى الله عليه وسلم berkata, ‘Tidak ada hak bagi akar pohon
yang zhalim.’” HR. Abu Dawud dengan sanad hasan.
Dalam al-Wajíz fi Ídháh
Qawá’id al-Fiqh al-Kulliyah disebutkan:
Makna hadis menurut bahasa:
Al-‘Irq adlh satu dari
akar-akar pohon. Maksudnya adlh pohon itu sendiri. Ini dihilangkan mudhafnya,
yaitu bagi orang yang memiliki akar pohon yang zhalim dan akar pohon itu yang
dijadikan zhalim. Al-Haq milik pemiliknya.
Disifatinya akar pohon dengan
kezhaliman adlh majaz. Maksudnya kezhaliman pemilik akar pohon tersebut.
Makna hadis menurut syar’i:
Sesungguhnya kezhaliman tidak
menghasilkan hak bagi pelaku kezhaliman.
Makna akar pohon yang zhalim:
Seorang lelaki datang ke tanah yang tlh dihidupkan (dikuasai / dimiliki)
seseorang sblm dirinya, lalu ia (orang kedua) menanam tanaman pada tanah
tersebut secara ghashab (merampas) atau melakukan sesuatu pada tanah tersebut
agar ia menjadi pemilik tanah tersebut. Sesungguhnya ia menjadi orang zhalim
krn ia menanam di tanah yang ia tahu bahwa tanah tersebut milik orang. Sehingga
dengan perbuatannya ini ia menjadi orang yang zhalim, perampas. Hukumnya ia
wajib mencabut apa yang ia tanam atau menghancurkan apa yang ia bangun. Akan
tetapi seandainya pemilik tanah ridha dengan tetapnya tanaman atau bangunan tersebut
dan ia membayar harga tanaman atau bangunan tersebut maka tidak mengapa.
Syaikh Utsaimin berkata dalam
Fath Dzil Jalál wal Ikrám bi Syarh Bulúgh al-Marám:
Ini padanya terdapet ghashab
‘perampasan.’ Perawi berkata, “Seorang lelaki dari para sahabat Rasululloh صلى
الله عليه وسلم.” Ini padanya terdapet problem dari sisi
bahwa perawi ini tidak diketahui orangnya. Tlh diketahui bahwa tidak diketahui
siapa perawi hadis mewajibkan celaan terhadap hadis tersebut. Sesungguhnya
sebab-sebab celaan sebagaimana dalam Nukhbah al-Fikr ada sepuluh. Di antaranya
tidak diketahuinya siapa perawi hadis. Sehingga hadis ini dha’if krn tidak
diketahuinya siapa perawinya?
Jawabnya kami katakan:
Sesungguhnya tidak diketahuinya siapa sahabat tersebut tidak memudharatkan, krn
semua para sahabat adlh orang-orang adil. Asal ilat dengan tidak diketahuinya
siapa perawi hadis krn kita tidak mengetahui keadilannya. Bila para sahabat رضي الله عنهم, semuanya adlh orang-orang adil maka tidak
memudharatkan tidak diketahuinya siapa sahabat yang meriwayatkan hadis
tersebut.
Bila seseorang berkata,
“Perkataanmu, ‘Sesungguhnya para sahabat, semuanya adlh orang-orang adil
dibatalkan dengan al-Qurán, krn Alloh berfirman:
والذين يرمون أزواجهم ولم يكن له شهداء ...
“Dan orang-orang yang menuduh
isterinya (berzina), padahal mereka tidak ada mempunyai saksi-saksi…” (QS.
An-Núr: 6)
Sungguh tlh terjadi kisah ini
pada sahabat. Hilal bin Umayah menuduh istrinya berzina dengan Syarik bin Sahma’. Keduanya adlh para
sahabat. Alloh berfirman:
يأيها الذين ءامنوا إن جاءكم فاسق بنبإ فتبينوا
“Hai orang-orang yang beriman, jika datang
kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti.” (QS.
Al-Hujarát: 6)
Ayat ini menetapkan akan kefasikan orang yang
datang dengan berita tersebut. Lalu bagaimana kamu mengatakan bahwa hukum asalnya
para sahabat adlh orang-orang yang adil dan tidak diketahuinya siapa sahabat
tersebut tidak memudharatkan?”
Jawaban akan hal tersebut, kami katakan: Ini adlh peristiwa khusus
yang terbatas dengan bilangan orang yang sedikit yang tidak menghalangi dari
hukum secara umum akan keadilan seluruh sahabat. Krn hukum asalnya adlh adil.
Lalu peristiwa yang terjadi ini, bila terjadi pada seseorang tertentu tidak
mengharuskan celaan pada semua sahabat. Lalu bila peristiwa ini terjadi pada
seorang sahabat tersebut, ia memiliki keutamaan; (di antaranya) termasuk
sahabat Nabi, terdahulu masuk Islam, turut perang bersama Nabi, dan selain itu
dari keutamaan-keutamaan, sesuatu yang menafikan celaan pada para sahabat رضي الله عنهم. Krnnya tidak
diketahuinya siapa sahabat yang meriwayatkan hadis tersebut
tidak memudharatkan, walaupun terjadi pada sebagian sahabat apa yang tlh
terjadi. Ini sedikit, jarang terjadi, baik pada perbuatan (maksiat) tersebut
dan demikian pula pada bilangan sahabatnya (yang mengerjakan maksiat tersebut)
yang tertutupi dengan sisi keutamaan-keutamaan mereka yang besar dan banyak.
“Dua orang lelaki bermusuhan,” dan “dua orang lelaki” tidak jelas (siapa
keduanya). Ini mengharuskan celaan pada hadis tersebut atau tidak?
Ini tidak mengharuskan celaan secara mutlak. Krn diketahuinya siapa
pelaku peristiwa tersebut bukan syarat keshahihan hadis.
“Sesungguhnya dua orang
lelaki bermusuhan (sampai) di hadapan Rasululloh صلى الله عليه
وسلم,” huruf إلى di sini menunjukkan gháyah wal intihá’ (tujuan
maksimal dan akhir). Yaitu permusuhan keduanya sampai kepada Rasululloh صلى
الله عليه وسلم.
Makna اختصما “Keduanya bermusuhan” yaitu setiap salah satu
dari keduanya berusaha memenangkan hujah (yaitu permusuhan di hadapan hakim,
-penerj.). Asal masalah yang menjadi sebab permusuhan mereka adlh tanah milik
salah satu dari keduanya dan pohon kurma milik yang lainnya. Yaitu salah
seorang dari keduanya menanam pohon kurma di tanah yang lainnya.
“Maka Rasululloh صلى
الله عليه وسلم memutuskan bahwa tanah tersebut milik
pemilik tanah.” “Memutuskan,” yaitu menetapkan hukum bahwa tanah tersebut milik
pemilik tanah. Apakah pemilik pohon kurma, ia yang menanam pohon kurma? Apakah
pemilik pohon kurma mengakui bahwa tanah tersebut bukan miliknya?
Ya, setiap salah seorang dari
keduanya mengakui kepemilikan musuhnya. Pemilik kurma mengakui bahwa tanah
tersebut bukan miliknya dan pemilik tanah mengakui bahwa pohon kurma tersebut
bukan miliknya.
“Dan Rasululloh memerintahkan
pemilik pohon untuk mengeluarkan pohon kurmanya.” Yaitu ia mencabutnya dari
tanah tersebut dengan tujuan mengosongkan tanah tersebut untuk pemilik tanah. Akan tetapi padanya
terdapet menyia-nyiakan harta dan merusak harta, kenapa? Krn kemungkinan pohon
kurma tersebut akan mati. Akan tetapi Rasululloh صلى الله عليه
وسلم bersabda, ‘Tidak ada hak bagi akar pohon yang zhalim.’ Akar
pohon tersebut adlh akar pohon kurma yang tidak memiliki hak, krn pohon kurma tersebut
ditanam dengan tanpa keridhaan pemilik tanah.
Di antara fawaid hadis ini
yang disebutkan oleh Syaikh Utsaimin:
Padanya terdapet dalil akan
terjadinya permusuhan di antara para sahabat. Aspek argumentasinya bahwa Nabi صلى
الله عليه وسلم menetapkan pemusuhan antara kedua sahabat
tersebut dalam masalah ini. Padanya terdapet dalil bahwa permusuhan tidak
menafikan keadilan. Seandainya pemusuhan menafikan keadilan maka pada
permusuhan ini terdapet celaan pada kedua sahabat yang bermusuhan tersebut,
kecuali bila permusuhan tersebut dalam kebatilan. Sesungguhnya Nabi صلى
الله عليه وسلم bersabda:
من حلف على يمين هو فيها فاجر يقتطع بها مال
امرئ مسلم لقي الله وهو عليه غضبان
“Siapa yang bersumpah dan ia
fajir dalam sumpahnya untuk merampas harta seorang muslim dengan sumpahnya,
maka ia berjumpa dengan Alloh dan Dia murka kepadanya.”
Di antara fawaid hadis: Siapa
yang merampas tanah, lalu ia menanam padanya, maka diwajibkan baginya untuk mencabut
pohon kurma tersebut. Akan tetapi padanya terdapet beberapa masalah:
Awal: Apakah boleh
mewajibkannya untuk mencabut pohon kurma, walaupun pohon kurma tersebut
termudharatkan? Ya, krn ia yang mendatangkan kemudharatan untuk dirinya.
Kedua: Seandainya ia mencabut
pohon kurma tersebut dan tersisa bekasnya di tanah. Terdapet pada tanah
tersebut lubang. Ini rendah dan ini menggunduk. Apakah pemilik pohon kurma
menanggungnya? Jawabnya ya, krn ini akibat perbuatannya.
Ketiga: Seandainya pemilik
tanah meminta untuk dibiarkan pohon kurma tersebut, lalu pohon kurma tersebut
ditaksir harganya dan harganya dibayarkan kepada pemilik pohon kurma, namun
pemilik pohon kurma menolaknya, apakah pemilik pohon kurma diwajibkan untuk
membiarkan pohon kurma tersebut dan pemilik tanah memberinya harga pohon kurma?
Madzhab (Hanabilah) tidak
wajib, krn pohon kurma tersebut miliknya. Akan tetapi sepantasnya untuk
dikatakan: Bila dalam pencabutannya terdapet manfaat, tidak wajib (untuk
menerima harga pohon tersebut). Bila dalam pencabutannya tidak terdapet
manfaat, wajib (untuk menerima harga pohon kurma tersebut). Krn bila dalam
pencabutannya tidak terdapet manfaat, akan diperoleh mafsadat dalam pencabutan
tersebut. Yaitu menyia-nyiakan harta pohon kurma dan menghilangkan manfaat
tanah bagi pemilik tanah. Krn pemilik tanah, bila menanam dari sekarang maka ia
akan menunggu bertahun-tahun untuk memetik hasilnya. Adapun bila pohon kurma
tersebut tetap berdiri maka ia bisa mengambil manfaatnya dari sekarang. Bila
kita mengetahui bahwa pemilik pohon kurma tidak memiliki tujuan yang benar
dalam meminta pencabutan pohonnya maka kita melarangnya untuk mencabut pohon
kurma tersebut.
Kami katakan: Hadis ini
menunjukkan bahwa tanaman tersebut menjadi milik pemilik tanah dan wajib bagi
pemilik tanah mengganti nafkahnya.
Kami katakan: Bila nafkah
tersebut lebih banyak dari harga tanaman dengan perampas tanah ini menafkahkan
untuk tanaman ini dengan menanam, menyirami, dan menebar benihnya mencapai
biaya sepuluh ribu real dan harga tanaman tersebut di pasar hanya lima ribu
real, apakah wajib bagi pemilik tanah untuk mengambil tanaman tersebut dengan
nafkah (biaya yang dikeluarkan) oleh perampas tanah tersebut?
Jawabnya tidak, krn ia tidak
diizinkan menanam tanaman ini, sehingga kami katakan, “Ini perintah Alloh. Datang
kerugian tersebut dari sisi Alloh.” Kita katakan: Tidak wajib bagi pemilik
tanah untuk mengambil tanaman tersebut dan tanaman tersebut milik perampas
tanah. Tersisa pembahasan, pembiaran tanah selama adanya tanaman tersebut,
apakah pemilik tanah menuntut sewa, bagian berupa sewa semisal, atau bagian
semisal?
Sewa semisal, dikatakan:
Seandainya kamu menyewa tanah untuk bercocok tanam. Lalu ia berkata, “Tanah
tersebut disewa seharga seribu real.” Bagian semisal, mereka berkata:
Seandainya kamu menanam, maka pemilik tanah berhak dapet bagian seperlima.
Kadang pemilik tanah memilih bagian yang paling banyak (di antara pilihan
tersebut). Akan tetapi kami ingin
menetapkan hukum syar’i, apakah yang paling dekat, bagiannya berupa saham
(bagian bagi hasil) atau sewa?
Kami katakan: hal tersebut
dikembalikan kepada urf (adat) manusia di tempat tersebut. Bila adat manusia,
mereka menyewakan tanah-tanah mereka kepada para petani maka kita mengambil
sewa semisal. Bila adat mereka, mereka memberikan tanah-tanah mereka dengan
bagian hasil tanaman, kita mengambil bagian hasil tanaman. Masalah ini, bila
aku tlh menyampaikannya maka pendapet ini sebagai penguat, bukan dasar
pendapet. Bila aku belum menyampaikannya maka ini adlh dasar pendapet.
Diambil manfaat dari hadis
ini: Akar pohon yang tidak zhalim, ia memiliki hak. Misalnya: Aku menyewa tanah
darimu untuk aku menanam pohon padanya selama sepuluh tahun. Tatkala waktu sewa
berakhir, pohon tersebut masih tetap ada. Apakah pemilik tanah menuntutku untuk
aku mencabutnya dan merugikanku?
Kita katakan: Hadis ini
menunjukkan bahwa akar pohon yang hak (tidak zhalim) maka pemiliknya memiliki
hak. Ketika itu, kita tidak mewajibkanmu untuk mencabut pohon yang kamu tanam
tersebut, akan tetapi pohon tersebut tetap milikmu untuk dibayar harganya.
Dikatakan: Taksirlh harga tanah tanpa pohon tersebut dan taksirlh harga tanah
dengan adanya pohon tersebut. Seandainya kita taksir tanah tersebut tanpa
adanya pohon tersebut seharga seratus ribu dan kita taksir tanah tersebut
dengan adanya pohon tersebut seharga seratus lima puluh ribu, maka harga pohon
tersebut lima puluh ribu.
Kita katakan kepada pemilik
tanah: Akar pohon ini bukan akar pohon yang zhalim, maka ia memiliki hak.
Ketika itu, pohon tersebut tetap milikmu untuk dihargai sebanyak lima puluh
ribu. Dalam misal yang kita sebutkan, bila pemilik pohon berkata, “Aku ingin mencabut
pohonku.” Kita lihat, bila tujuannya untuk memudharatkan (pemilik tanah) maka
kita melarangnya. Bila ia memiliki tujuan yang dikehendaki, kita menyetujuinya.
Krn sekarang ia memiliki tujuan. Misalnya ia berkata, “Aku ingin mencabut pohon
tersebut berserta akar-akarnya untuk aku tanam di tanahku, sehingga pohon
tersebut bisa berbuah tahun ini.” Orang ini memiliki tujuan yang dikehendaki.
Kita katakan: Kamu memiliki hak. Pohon tersebut adlh pohonmu. Bila ia berkata,
“Aku akan mencabutnya, terus aku membuangnya. Aku ingin agar pemilik tanah
menanam dari sekarang dan ia menunggu hasil (pohon sebesar ini) selama sepuluh
tahun.” Apa yang kita katakan? Kita melarangnya, krn orang ini memudharatkan
dirinya dan memudharatkan saudaranya. Nabi صلى الله عليه وسلم bersabda,
“Tidak boleh memudharatkan diri sendiri dan tidak pula memudharatkan orang
lain.” Sekarang kamu merusakkan pohon ini terhadap saudaramu dan kamu merugi
lima puluh ribu pula.
Akhir sanadnya pada Ashhábus
Sunan dari riwayat ‘Urwah dari Sa’id bin Zaid.
Diperselisihkan pada washl
dan irsálnya serta pada penentuan kedua sahabat tersebut.
Adapun perselisihan pada
penentuan kedua sahabat Nabi, hal tersebut tidak memudharatkan, krn para
sahabat, semuanya adlh orang-orang yang adil. Adapun perselisihan pada washal
dan irsál maka para para ulama hadis tlh berselisih, apakah ilat ini menjadi
celaan terhadap hadis atau tidak? Yang benar, hal tersebut bukan celaan, bila
wáshil (perawi yang menyambung hadis) seorang yang tsiqah. Krn bersama perawi
wáshil ada tambahan ilmu dan tidak menafikan irsál. Seandainya washal menafikan
irsál maka kita mencari perajihan. Akan tetapi ia tidak menafikan irsál. Krn
seorang muhadits kadang menyambung hadis dan kadang memursalkannya. Bahkan
kadang memarfu’kannya dan kadang memauqufkannya. Kadang ia meriwayatkannya dari
Nabi صلى
الله عليه وسلم dan kadang ia menceritakannya dari dirinya
sendiri. Misalnya hadis Umar bin Khathab, “Sesungguhnya semua amal perbuatan
(tergantung) dengan niat.” Kadang Umar menyandarkannya kepada Nabi صلى
الله عليه وسلم dan kadang Umar berkata kepada seseorang
dari manusia, “Sesungguhnya semua amal perbuatan (tergantung) dengan niat.”
Lalu seorang perawi meriwayatkan dari Umar dengan redaksi kedua bahwa hadis
tersebut mauqúf dan ia meriwayatkannya dengan redaksi awal bahwa hadis tersebut
maushúl marfú’.
Kesimpulan: Bila
diperselisihkan akan washal (sambungnya sanad) dan irsál, maka yang benar kita
mengambil washal, selama wáshil (penyambung) seorang yang tsiqah. Yang
demikian, krn tidak ada penafian antara washal dan irsál.
(Hadis mursal adlh hadis yang
tidak disebutkan perawinya di akhir sanad, perawi stlh seorang tabi’in (sahabat
Nabi) dan hadis muttashil / maushúl adlh hadis yang bersambung sanadnya, baik
marfú’ atau mauqúf atau
hadis yang sanadnya sambung, setiap para perawinya mendengar dari perawi yang
di atasnya sampai berakhir pada akhir sanad. –penerj.)
✍🏻
Rohmatulloh Ngimaduddin, Lc
…
════
❁✿ 📓📓📓✿❁
════
📱 Grup whatsapp "بيان الحق", Gabung: 085741351620
Tidak ada komentar:
Posting Komentar